KAPITALISME
LOKAL SUKU BAJO
Local Capitalism
of Bajo
Nur Isiyana Wianti*),
Arya Hadi Dharmawan, Rilus A. Kinseng, Winati Wigna
Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB
*) Email :
wiantini@gmail.com
Diterima
6 Januari 2012 / Disetujui 2 April 2012
ABSTRACT
Transformasi ekonomi pedesaan
tidak terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Transformasi
yang dialami masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat
pedesaan berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Mola adalah
gambaran unik komunitas nelayan Bajo yang telah mengalami transformasi sosial
dalam bentuk modernisasi. Kenyataan ini jauh berbeda Mantigola. Perubahan
masyarakat Bajo kearah kapitalisme ditengarai oleh peran dari pertukaran
ekonomi, dan penetrasi nilai-nilai yang dibawa oleh An Tje. Perubahan orientasi
ekonomi ke arah kapitalisme juga disebabkan oleh peran besar dari orang Mandati
yang adalah para kapitalis, yang memberikan iklim yang kondusif dalam berusaha.
Sebaliknya, Bagi Bajo Mantigola, kemandekan ekonomi disebabkan adaptasi
terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh orang Kaledupa, pembatasan terhadap
ruang nafkah oleh taman nasional, pelarangan untuk menangkap di perairan
Australia, dan ketergantungan dari orang-orang Mola. Kemudian, agama juga
menjadi faktor pendorong terjadinya kapitalisme di Mola. Kapitalisme lokal suku
Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh masyarakat
Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh para
kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka dengan
melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan sejarah
munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara teori Marx digunakan untuk
memahami bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh orang-orang Mola terhadap
saudaranya, namun bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah seperti yang
diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu yang
mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo
Keywords :
Kapitalisme Lokal, Bajo, Wakatobi, Weber
Latar Belakang
Masyarakat senantiasa berubah di
semua tingkat kompleksitas internalnya. Di tingkat makro terjadi perubahan
ekonomi, politik, dan kultur. Di tingkat meso terjadi perubahan kelompok,
komunitas, dan organisasi. Di tingkat mikro terjadi perubahan interaksi dan
perilaku individual. Dalam masyarakat kini terkandung pengaruh, bekas, dan
jiplakan masa lalu serta bibit potensi untuk masa depan. Sifat berprosesnya
masyarakat secara tersirat berarti bahwa fase sebelumnya berhubungan sebab
akibat dengan fase kini dan fase kini merupakan prasyarat sebab akibat yang menetukan
fase berikutnya (Sztompka, 2005).
Transformasi ekonomi pedesaan tidak
terkecuali juga dialami oleh komunitas nelayan suku Bajo. Fenomena sosial ini
sekaligus membuktikan bahwa masyarakat lokal mampu melakukan mobilitas sosial
melalui ekspansi usaha ke arah cara produksi kapitalisme. Dahulu suku Bajo
masih hidup dengan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu,
dan berpindah-pindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan
diri dan keluarganya (Zacot, 2002). Seiring dengan dimulainya relokasi
masyarakat Bajo ke daratan, rupanya membawa implikasi terhadap kehidupan
sosial, ekonomi, maupun budaya. Awalnya ketika masyarakat Bajo masih hidup
berpindah-pindah dengan leppa, mereka tidak mengenal ekonomi uang, aktifitas
sehari-hari hanyalah memancing, dan menangkap ikan pada suatu tempat selama
sebulan kemudian pergi ke tempat lain. perdagangan hanya dilakukan dengan
sistem barter. Untuk persediaan sehari-hari mereka, kelompok pengembara ini
berbuat sebagai berikut : sebuah kelompok kecil pergi ke pantai pada hari-hari
pasar, apakah itu pasar terapung atau pasar di darat. Mereka menukar ikan-ikan
tangkapan mereka dengan kebutuhan lain atau peralatan yang mereka butuhkan.
Namun, setelah proses relokasi, sendi-sendi kehidupan masyarakat Bajo mulai
berubah sejalan dengan menetapnya masyarakat Bajo di pinggir pantai dengan
membuat rumah-rumah terapung. Masyarakat Bajo mulai mengenal ekonomi uang
(artinya mulai mengenal kemiskinan) dan pasar, generasi muda Bajo mulai
diperkenalkan dengan sekolah formal, serta mau tidak mau harus mengakui dan
takluk terhadap legitimasi pemerintah sebagai suatu suprasistem kehidupan
mereka.
Transformasi yang dialami
masyarakat Bajo saat ini juga merujuk pada perubahan masyarakat pedesaan
berbasis pada pertumbuhan dan mekanisme kapitalis pasar. Transformasi yang
terjadi di dalam proses produksi Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6,
No. 1 2012 | 37
diarahkan
untuk menghasilkan surplus. Mola adalah gambaran unik komunitas nelayan Bajo
yang telah mengalami transformasi sosial dalam bentuk modernisasi (Harian
Kompas, Senin 28 Juni 2010). Komunitas Bajo Mola menggeliat, perkembangan
ekonomi berkembang dengan pesat, ini ditandai dengan skala usaha yang condong
kearah kapitalisme. Penggunaan alat tangkap yang modern, terjadi akumulasi
modal untuk ekspansi usaha, menggunakan sistem upah tenaga kerja, yang dahulu
hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga. Kenyataan ini jauh berbeda dengan
kampung-kampung Bajo lainnya di Kabupaten Wakatobi, antara lain kampung Bajo
Lamanggau, La Hoa, Sama Bahari maupun Mantigola. Para nelayan Bajo Mola telah
banyak menjadi pengumpul besar, dan menguasai jalur perdagangan ekspor kerapu
hidup ke Hongkong melalui Bali. Kemajuan-kemajuan yang dicapai di atas memang
mengesankan, namun kemajuan yang dicapai juga menimbulkan konsekuensi
tersendiri yakni ketidakmerataan ekonomi, antara lain pola distribusi
keuntungan yang timpang.
Selanjutnya, saat ini nelayan Bajo
khususnya Mola tidak menjadikan laut sebagai satu-satunya sumberdaya yang digunakan
untuk mencari nafkah. Nelayan Mola tidak lagi berorientasi pada upaya untuk
bertahan hidup (survival) melainkan juga untuk memperbaiki status
kehidupan mereka (consolidating strategy). Nafkah tidak lagi hanya
diarahkan sebagai sesuatu yang harus dilakukan (necessity) melainkan
juga sebagai suatu pilihan-pilihan rasional (rational choices). Strategi
nafkah yang dilakukan nelayan Bajo Mola antara lain dengan melakukan
diversifikasi nafkah di luar kegiatan menangkap ikan, dan melakukan migrasi ke
pulau-pulau lainnya, hingga ke luar negeri. Kegiatan menangkap ikan tidak hanya
dilakukan disekitar perairan Wakatobi saja melainkan juga melakukan penangkapan
di laut Arafura, dan menangkap hiu di Pepela NTT. Diversifikasi nafkah selain
menangkap ikan antara lain membuat perahu Lambo yang kemudian dipasarkan ke
Pepela, budidaya ikan di dalam keramba, membuka usaha toko kelontongan, membuka
usaha jasa penginapan kelas melati. Selanjutnya, merantau juga dilakukan oleh
lelaki Bajo Mola, dengan daerah yang menjadi tujuan migrasi adalah Tawao
Malaysia. Biasanya mereka bekerja sebagai ABK pada kapal-kapal ikan, status
mereka adalah tenaga kerja ilegal, lama waktu perantauan kira-kira antara dua
sampai tiga tahun. Merantau bagi beberapa nelayan Bajo Mola adalah upaya yang
harus dilakukan ketika lahan nafkah di sektor perikanan sudah tidak menjanjikan
lagi, dan merupakan sarana untuk mengumpulkan modal untuk usaha. Bagi beberapa
pengusaha perintis, awal usaha dimulai ketika bekerja dengan pengusaha Cina
yang datang ke Mola. Setelah merasa paham dan mampu menyediakan sedikit modal
untuk mandiri, kemudian membuka usaha hasil-hasil laut. Yang kemudian menjadi
khas dalam membahas kapitalisme yang terjadi di komunitas suku Bajo adalah
bahwa perempuan Mola adalah para usahawan.
Sebaliknya, komunitas Bajo
Mantigola yang adalah daerah asal Bajo Mola, cenderung persisten terhadap
perubahan. Perputaran roda ekonomi cenderung lebih lambat tetap mempertahankan
pola usaha perikanan yang tradisional. Kemudian nelayan Mantigola masih
menggunakan cara-cara tradisional, jenis alat tangkap tradisional antara lain
didominasi oleh alat tangkap panah, jaring, pancing, dan bubu. Daya jelajah
nelayan Bajo Mantigola juga tidak terlalu jauh, wilayah penangkapan hanya
sejauh wilayah karang Kaledupa. Kemandekan ekonomi yang terjadi di Mantigola
disebabkan oleh “hal-hal” yang lebih kontekstual struktural, dan pada akhirnya
memberikan dampak sistemik bagi perekonomian Bajo Mantigola
Penetrasi kultur kapitalisme
melalui pertukaran ekonomi ini selain merubah kultur masyarakat Bajo, juga
menciptakan perubahan struktural. Orientasi produksi nelayan Bajo Mola kini
berubah sepenuhnya dari hanya bertujuan untuk subsistensi kepada tujuan untuk
memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka memperoleh keuntungan. Nelayan Mola saat
ini tidak saja mencari nafkah dengan cara menangkap ikan melainkan juga
melakukan diversifikasi usaha baik di sektor perikanan tangkap maupun sektor
non perikanan. Kapitalisme Bajo Mola semakin menggeliat juga didukung oleh
masuknya teknologi penangkapan ikan, seperti purse seine, dan teknologi
pengolahan hasil perikanan seperti meloing untuk komoditas tuna. Beberapa
wirausaha Bajo Mola memiliki jenis kapal purse seine, kapal motor berbobot
30 GT1, dan keramba apung tempat penampungan ikan-ikan kerapu hidup. Pentingnya
peran kapital bagi Bajo Mola telah merubah hubungan-hubungan sosial produksi
dan terjadi peralihan tenaga kerja keluarga menjadi buruh upahan. Misalnya saja
di dalam sistem perniagaan ikan kerapu hidup yang dikelola nelayan Bajo Mola
yang berskala ekspor dengan jaringan perdagangan yang luas ke Bali hingga ke
Hong Kong menuntut penggunaan tenaga kerja upahan selain anggota keluarga.
1 Gross Tonage (ukuran besarnya
perahu atau kapal)
Namun, dari perubahan dramatis yang
nampak dari gejala-gejala kapitalisme pada masyarakat Bajo, rupanya masih
terdapat ruang-ruang bagi nilai-nilai lokal yang menyebabkan kapitalisme
masyarakat Bajo dimaknai sebagai satuan sosial yang unik. Menurut Peribadi
(2001) dalam memenuhi berbagai jenis kebutuhannya, etnis Bajo berpijak pada
suatu etos dan pandangan hidup yang terkandung dalam falsafah “tellu
temmaliseng dua temmaserrang”. Etos tersebut lah yang mempermasalahkan baik
dan buruk (etika), indah dan jelek (estetik), benar dan salah (logis), serta
pandangan hidup yang terintegral dengan alam sekitarnya. Yang pada akhirnya
orientasi nilai tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan nafkah, basis etika nilai
dan moralitas dalam ekspansi usaha, bentuk pola akusisi kapital, bentuk
jejaring bisnis, dan bentuk-bentuk tindakan bisnis yang dilakukan oleh aktor
kapitalis lokal Bajo. Selain itu masih kuatnya istilah sama yang menunjukkan
inklusifitas kelompok masyarakat Bajo terhadap orang-orang di luar komunitas
Bajo atau dikenal dalam peristilahan Bajo sebagai bagai atau orang-orang
darat. Pemisahan antara sama dan bagai ini erat kaitannya dalam
mekanisme perekrutan tenaga kerja upahan. Masyarakat Bajo lebih memilih orang
sama sebagai buruh upahan dan pertimbangan bahwa tenaga kerja terkait erat pada
ikatan kekerabatan. Kemudian, hubungan kekerabatan bagi 38 | Wiyanti,
Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme Lokal Suku Bajo
orang Bajo
merupakan unsur yang berperan dalam mempermudah akses seseorang terhadap
peluang atau sumberdaya ekonomi dan sosial seperti perekrutan sawi.
Perekrutan sawi dari unsur kerabat ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa untuk ketenangan dan ketentraman dalam bekerja, dan juga dapat membantu
keluarga yang belum bekerja. Menurut Kasim dalam hamzah (2008) bahwa
sawi lebih senang bekerja dengan kerabat/saudara sendiri daripada harus
diperintah oleh orang lain. Penghargaan tinggi masyarakat Bajo terhadap ikatan
kekerabatan (kinship) terkait erat dengan kelangsungan kehidupan
masyarakat Bajo, kebudayaannya, dan juga kelangsungan sejarahnya.
Maka berdasarkan pada fenomena unik
tersebut, tulisan ini akan menunjukkan bagaimana proses perubahan orientasi
ekonomi masyarakat Bajo dalam konteks lokal. Perubahan ini merupakan tanda
bahwa menggeliatnya ekonomi lokal orang-orang Bajo Mola dan Bajo Mantigola yang
tetap melakukan pola-pola perikanan tradisonal, menunjukkan bahwa “spirit of
capitalism” di setiap suku Bajo memiliki derajat perbedaan dalam hal
perkembangannya. Untuk memahami mengapa terjadi perbedaan tersebut maka :
pertama, tulisan ini akan mengkaji secara historis perubahan kultur masyarakat
Bajo yang tradisional dan prakapitalis dengan menjawab bagaimana kultur
kapitalisme mampu merembes ke dalam nilai-nilai masyarakat Bajo Mola melalui
saluran (trajectory) tertentu. Dengan menggunakan analisa mengenai
pemaknaan masyarakat Bajo Mola maupun Mantigola mengenai lima masalah dasar di
dalam kehidupan manusia, antara lain mengenai hakekat dari hidup, hakekat dari
karya manusia, hakekat ruang dan waktu, hakekat dengan alam sekitar, dan
hubungan manusia dengan sesamanya. Analisa perubahan nilai masyarakat Bajo
kepada kultur kapitalisme juga menekankan pada pentingnya analisa perubahan
rasionalitas nelayan Bajo Mola dengan berpijak pada teori rasionalitas Weber,
bahwa di masyarakat Bajo terdapat perbedaan dalam hal perkembangan
rasionalitas, yang kemudian juga menggambarkan perbedaan orientasi perkembangan
spirit of capitalism di masyarakat Bajo.
Kemudian, tulisan ini juga akan
mencoba memahami bagaimana perubahan budaya sebagai hasil adaptasi dan
akulturasi masyarakat Bajo Mola di Pulau Wanci. Hasil adaptasi tersebut
memunculkan suatu kultur kapitalisme khas lokal. Lokal di dalam tulisan ini
tidak merujuk pada bentuk-bentuk kapitalisme murni masyarakat Barat yang
berangkat dari masyarakat industri, melainkan berangkat dari masyarakat pesisir
yang terkait oleh kultur lokal, yang sifat sumberdayanya yang open access,
serta mekanisme berburu dan meramu (food and gathering) yang merupakan
cara untuk memperoleh sumberdaya.
Untuk memahami fenomena sosial
tersebut, dilakukan suatu pendalaman atas fenomena tersebut secara empiric atas
proses berkembangnya kapitalisme khas local di komunitas adat suku Bajo di
suatu kawasan Taman Nasional Wakatobi. Studi yang dilakukan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Realitas sosial di
dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental individu, dan
pengalaman yang sifatnya spesifik dari lima belas kasus rumah tangga aktor
kapitalis lokal Bajo, khusus untuk memahami proses perkembangan dan dinamika
kapitalisme yang terjadi di dua lokasi baik di Mola maupun di Mantigola.
Wawancara mendalam pada berbagai aktor kapitalis local Bajo sebagai informan
kunci dilakukan untuk memahami dan menganalisis proses terbentuknya aktor-aktor
kapitalis lokal, dan untuk menjawab perbedaan orientasi transformasi masyarakat
suku Bajo Mola dan Bajo Mantigola.
Sejarah Terbentuknya Aktor
kapitalis Lokal di Bajo Mola dan Bajo Mantigola
Awal perkembangan orang-orang Mola
sebagai usahawan ditengarai awalnya disebabkan oleh peran orang-orang Wanci
Mandati. Melalui pertukaran ekonomi, penetrasi nilai-nilai kapitalisme merasuk
kedalam masyarakat Mola. Semangat untuk berbisnis juga muncul ketika beberapa
nelayan Bajo melihat menggeliatnya usaha dagang yang dilakukan oleh orang-orang
darat, yakni orang Wanci Mandati. Sebagai manusia yang kongkrit, merembesnya
nilai-nilai kapitalisme bagi orang-orang Bajo oleh orang Mandati membawa mereka
ke dalam dunia tertentu, dunia yang penuh dengan persaingan, spekulasi, dan
manipulasi, sekaligus juga menemukan beragam dukungan sosial dalam
mengembangkan bisnisnya, dan pada akhirnya pengembangan identitas dan
nilai-nilai khusus mereka. Nilai-nilai kebendaan yang ditawarkan oleh orang-orang
Mandati melalui barang-barang dagangannya yang ditawarkan kepada orang-orang
Bajo, misalnya piring dan gelas dengan merek-merek mahal dan impor yang dibawa
oleh orang-orang Wanci Mandati sepunlangnya dari merantau dari Singapura dan
Tawau, amat diminati oleh perempuan-perempuan Bajo yang kaya. Artinya konsumsi
orang-orang Bajo menyediakan ruang-ruang surplus bagi orang-orang Mandati.
Motivasi yang besar dari beberapa
nelayan Bajo Mola, dan kemampuan dan pengetahuan pengelolaan keuangan yang
cenderung jarang dimiliki oleh orang-orang Bajo pada umumnya cenderung “boros”,
yang diistilahkan oleh orang-orang kaya Bajo sebagai “bakat” (manajerial
talent) akhirnya mengantarkan mereka pada keberhasilan usaha. Kemudian,
strategisnya wilayah Wangi-wangi untuk kegiatan perdagangan juga merupakan
faktor pemicu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Bajo yang baru
menetap di Wangi-wangi. Setelah mendarat di Wanci, banyak masyarakat Bajo yang
kawin-mawin dengan orang Wanci, ini juga merupakan pemicu perubahan sosial di
Bajo, karena kultur masyarakat Wanci yang jago berniaga terserap di Bajo Mola
secara perlahan-lahan melalui saluran perkawinan tersebut.
Masyarakat Wanci sendiri menganggap
masyarakat Bajo sebagai konsumen potensial untuk mengembangkan usahanya. Sifat
masyarakat Bajo yang konsumtif digunakan oleh masyarakat Mandati sebagai
kesempatan untuk mengembangkan pasar. Dahulu, masyarakat Mandati menjual
barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, ubi kayu, kemudian peralatan
memasak, misalnya tempayan air (busu-busu), dan jajanan pasar, seperti
kue-kue kecil. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012 | 39
Saat ini
pengusaha Wanci Mandati banyak menguasai perdagangan bahan-bahan bangunan,
perdagangan pakaian baru maupun bekas (RB), peralatan elektronik bekas,
furniture bekas, dan jasa angkutan laut, baik kapal angkutan lintas pulau dan
propinsi maupun jasa muat kargo antar pulau. Semua bentuk usaha ini sangat
dibutuhkan oleh orang-orang Bajo Mola. Perdagangan bahan-bahan bangunan berkembang
kian pesatnya, ini seiring dengan makin maraknya orang-orang Bajo membangun
rumah permanen maupun rumah-rumah semi permanen, ini juga karena perkampungan
Bajo Mola semakin hari semakin menunjukkan bentukan daratan. Sementara
baju-baju bekas bagi orang-orang Bajo juga sangat diminati, karena harga yang
murah, dan kualitas pakaiannya yang memang sangat baik. Sifat konsumtif yang
menjadi-jadi ini didukung juga dengan kepemilikan televisi oleh orang-orang
Bajo di perkampungan Bajo Mola, dengan tayangan televisi lah yang kemudian
menyediakan contoh lain dari konsumerisme atau untuk menerima norma-norma
konsumsi dari beragam bentuk penayangan. Kenyataan ini sesuai dengan perubahan
yang terjadi pada masyarakat di wilayah pegunungan Tengger, Hefner (1999)
menyebutkan bahwa penyebaran televisi di daerah lereng atas pegunungan Tengger
telah menyediakan contoh lain dari tantangan untuk menerima norma-norma
konsumsi.
Keberhasilan orang-orang Mandati
tidak terlepas dari peran orang-orang Bajo, karena diawal mula usaha berdagang
di Pulau Buru, Jawa, Kalimantan, Sumatera, bahkan hingga ke Singapura, peran
Bajo sebagai pemasok barang-barang dagangan orang-orang Mandati, antara lain
sirip ikan hiu, teripang, lola, dan sebagainya berasal dari nelayan Bajo di
Mola. Selain itu juga, sebelum memiliki kapal sendiri untuk berlayar,
orang-orang Mandati juga meminjam kapal orang-orang Bajo Mola untuk berangkat
membawa barang dagangan ke Pulau Buru, ke Pulau Jawa, hingga ke Singapura.
Selanjutnya, selain hasil adaptasi
dengan golongan pedagang Wanci Mandati yang membentuk “spirit berniaga”,
munculnya para kapitalis lokal Bajo tidak bisa dipungkiri terbentuk karena
pengaruh ketokohan seorang pengusaha Cina bernama An Tje. Sebelum datangnya
seorang perantau dan sekaligus pengusaha dari Cina yang bernama An Tje,
masyarakat Mola masih mempertahankan pola hidup tradisional. Dimana pola nafkah
utama masyarakat Bajo adalah hanya menggantungkan pada kegiatan penangkapan
ikan. An Tje datang disaat orang-orang Bajo gemar menangkap dan memperdagangkan
penyu. Tertarik dengan kekayaan hasil laut yang sangat melimpah antara lain
teripang, penyu hijau, tuna, napoleon, dan kerapu macan, An Tje kemudian
membeli beberapa komoditas untuk dijadikan contoh barang kepada “bos” di
Makassar. Setelah sekembalinya dari perjalanan menuju singapura, dan singgah ke
Makassar, An Tje kemudian membuka usaha perdagangan hasil-hasil laut di Mola
dengan tenaga upahan yang adalah orang-orang Bajo Mola. Tenaga upahan ini juga
merupakan nelayan pengumpul yang dibina menjadi pengusaha. An Tje mengupah
pekerja dengan beras dan bahan pangan lainnya. Selain itu An Tje juga
mengajarkan bagaimana berdagang, atau membuka usaha perdagangan hasil-hasil
laut. Transfer pengetahuan (transfer of knowledge) mengenai pengelolaan
usaha, merupakan warisan yang luar biasa bagi perkembangan ekonomi masyarakat
Bajo ke depan. Rata-rata pekerja An Tje saat ini telah menjadi pengusaha
perintis hasil-hasil laut kelas “kakap” yang menguasai jaringan perdagangan.
Setelah cukup ilmu, dan modal yang
dikumpulkan telah layak untuk membuka usaha beberapa tenaga kerja An Tje
kemudian mulai berusaha hasil laut sendiri dari usaha kecil-kecilan,
pertama-tama memulai dengan mengumpulkan barang-barang/komoditas perikanan
antara lain penyu, teripang, dan sirip dan ekor ikan hiu dari nelayan-nelayan
Bajo. Kemudian, dengan berbekal keberanian, pertama mereka mencoba menjual
komoditas tersebut dalam jumlah sedikit ke Bali, Makassar, Surabaya, hingga ke
Pangkal Pinang. Dari upaya menjual tersebut, mulailah pengusaha-pengusaha
menemukan “bos”, yang adalah pengumpul dan sekaligus merupakan eksportir di
wilayah tersebut. Setelah kembali dari Bali, biasanya pengusaha membawa
keuntungan hasil penjualan dalam bentuk barang-barang, antara lain
barang-barang elektronik, seperti televisi, radio, kipas angin, yang tidak
dijual di kampung. Barang-barang tersebut kemudian dijual kembali, atau juga
bisa dijadikan barang “barteran” dengan komoditas laut yang akan dijual kembali
ke Surabaya. Tidak mudah rupanya menjalin kerjasama dengan “bos” di luar
wilayah Wanci, tidak jarang juga para pengusaha-pengusaha Bajo mengalami
kerugian, sehingga pulang ke kampung dengan tangan hampa, namun hal tersebut
tidak menyurutkan semangat berusaha para pengusaha Bajo tersebut. Kegagalan
bukan menjadi penghalang. Komunikasi terus dibina oleh pengusaha Bajo dengan
“Bos”/eksportir, dari komunikasi ini pengusaha akan tahu “spek” barang yang
akan dijual, misalnya ukuran standar kerapu yang akan dijual.
Sesungguhnya unik melihat pola-pola
hubungan orang Bajo dengan “tetangganya”. Beberapa bukti menunjukkan
orang-orang Bajo menggeliat perekonomiaannya, dan pergerakan ekonomi juga
dipengaruhi “tetangganya” dalam hal pertukaran ekonomi. Simbiosis ekonomi tidak
hanya ditunjukkan antara hubungan Wanci dan Bajo, melainkan juga hubungan
ekonomi antara Bugis dan Bajo yang sangat “mesra”. Misalnya Pelras (2006)
mengungkapkan bahwa suku Bajo bukan sekedar suku pengembara laut yang hanya
tahu menangkap ikan. Mereka, orang-orang Bajo sangat aktif mencari komoditi
laut seperti kerang mutiara, teripang, sisik penyu, mutiara, kerang-kerangan,
karang, dan rumput laut. Orang Bajo juga menyediakan berbagai komoditi pantai
terutama dari hutan bakau seperti akar-akaran, kulit kayu bakau yang digunakan
sebagai bahan celup, serta kayu garu, dammar, madu, lilin tawon lebah, dan
sarang burung, baik yang terdapat di sekitar tempat tinggal atau pun dari
tempat-tempat yang mereka kunjungi. Aktivitas ini melibatkan mereka dalam
hubungan perdagangan dan barter dengan kerajaan Bugis dan Makassar.
Para aktor kapitalis Mola mengawali
usahanya dengan beragam saluran. Pada beberapa aktor perintis, usaha mulai
dipelajari cara pengelolaannya oleh An Tje dan modal dari usaha penangkapan
hasil laut secara kecil-kecilan. Pengusaha hasil-hasil laut perintis menjadi
tokoh-40 | Wiyanti, Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme Lokal Suku
Bajo
tokoh masyarakat Bajo Mola yang sangat disegani dan
sangat terpandang. Selainkarena kekayaannya, juga karena ia menafkahi hampir
sebagian besar nelayan Bajo di Wakatobi. Pengusaha perintis di Mola pada
umumnya adalah kelas menengah yang meraih statusnya melalui suatu pengalaman
historis yang cukup panjang, dengan proses mobilitas social vertical, yaitu yang
dimulai dengan menjadi buruh, kemudian berkat bakat dan pengalamannya bekerja
di An Tje berhasil menjadi pemilik sekaligus majikan bagi ratusan nelayan Bajo
di Wakatobi. Untuk beberapa aktor pengikut lainnya, memulai usahanya dengan
bekerja kepada pengusaha perintis.
Kemudian
untuk beberapa aktor pengikut, usaha dimulai dengan migrasinya mereka ke
wilayah-wilayah tertentu seperti Tawau, Pepela, dan Makassar. Melalui migrasi,
mereka mempelajari seluk-beluk usaha hasil-hasil perikanan, dan bahkan mengumpulkan
modal usaha diperantauan. Bagi beberapa aktor kapitalis lokal di Mola, ada juga
yang merupakan kapitalis penerus. Mereka mewarisi usaha yang telah dibesarkan
oleh kedua orang tua mereka. Namun, bukan berarti dengan memiliki usaha warisan
yang telah berhasil dengan serta merta akan membawa keberhasilan juga kepada
penerusnya. Sebab, pada beberapa kasus misalnya beberapa pengusaha Bajo yang
kaya raya, setelah meninggal semua harta warisannya satu per satu digadaikan..
Sementara
untuk pengusaha hasil-hasil laut di Mantigola, mereka cenderung sebagai
pengusaha perintis, dan pengikut. Bagi pengusaha perintis, awal mula usaha
bukan seperti pengusaha perintis di Mola, yang menjadi buruh di tempat
penjualan hasil-hasil laut yang dimiliki oleh seorang Tianghoa bernama An Tje
melainkan usaha dikelola dimulai ketika mereka melakukan migrasi temporer di
Pepela. Pepela menjadi awal mulanya menjadi nelayan sawi, dari menjadi sawi
kemudian para pengusaha kemudian mengenal bos-bos Tionghoa pengumpul
hasil-hasil laut baik di Surabaya, Bali, Makassar, maupun di Pepela sendiri.
Setelah cukup ilmu untuk menjadi punggawa, kemudian kembali ke Mantigola untuk
mencari beberapa sawi, dan membeli perahu untuk dibawa ke Pepela. Setelah
beranjak menjadi nelayan punggawa, dari posisi sebagai nelayan punggawa
tersebut para bos yang dikenalnya kemudian memberi modal usaha yang sifatnya
“mengikat” pengusaha Mantigola agar tetap menyetorkan hasil-hasil laut yang
dibawa dari Mantigola. Beberapa pengusaha perempuan di mantigola yang berstatus
sebagai perintis, memulai usahanya dari ikut-ikut suami mengantarkan barang
dagangannya ke bos baik di Makassar maupun di Bau-bau. Dari situlah mereka
belajar bagaimana mengelola usaha, menghitung untung rugi, dan bagaimana
memutarkan uang hasil usaha.
Sementara
untuk pengusaha pengikut di Mantigola, dimulai dengan ajakan sang daparanakan
di Mola yang dahulu telah sangat sukses di Mola. Sedikit demi sedikit modal
dikumpulkan dari hasil “mengolah” hasil tangkapan suami. Beberapa pengusaha
malah mengaku diberi pinjaman modal dari sang daparanakan, namun dengan
prasyarat bahwa mereka harus menjual hasil laut yang mereka peroleh kepada sang
daparanakan di Mola. Namun, ada juga daparanakan di Mola yang telah sukses
berusaha lobster di Mola yang mencarikan bos eksportir kepada pengusaha di
Mantigola.
Tidak
semua desa Bajo dapat berkembang dengan cepat selayaknya desa Mola di Pulau
Wanci. Memang tidak bisa dipungkiri, bahwa strategisnya wilayah Wanci sebagai
ibu kota kabupaten, dan secara historis orang-orang Wanci dalam hal ini orang
Mandati telah lama mengembangkan jaringan perdagangan ke Pulau Buru hingga ke
Singapura mempengaruhi laju perkembangan ekonomi di Mola. Belum lagi dengan
perlakuan masyarakat Mandati terhadap masyarakat Mola yang dianggap sebagai
pasar potensial, menyebabkan pembauran menjadi lebih mudah, dan pada akhirnya
penetrasi kapitalisme juga mampu menembus dinding orientasi nilai masyarakat
Bajo Mola.
Berbeda
dengan Mola, Mantigola sebagai wilayah awal keberadaan dari sebagian besar
orang-orang Bajo Mola sebaliknya bergerak lebih lambat. Mereka masih
mempertahankan kesahajaan mereka, dengan hidup di atas laut, meskipun tidak
hidup lagi di atas soppe-soppe. Mempertahankan sebagian besar cara-cara
tradisional dalam kegiatan penangkapan ikan. Misalnya saja nelayan Bajo
Mantigola identik dengan nelayan yang menggunakan panah untuk menangkap ikan
karang jenis kerapu, ekor kuning, katambak. Sementara pancing untuk menangkap
cakalang, tuna, dan ikan-ikan pelagic lainnya, bubu untuk menangkap ikan-ikan
karang, dan dua buah rompong dimiliki oleh nelayan Mantigola untuk menangkap
ikan-ikan pelagic kecil.
Perkembangan
ekonomi semakin “mandek” karena adaptasi dengan masyarakat darat yakni
orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan orang-orang Bajo sebagai golongan
masyarakat rendahan. Masyarakat Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau
disebut oleh orang kaledupa dengan istilah “amai wa’du” sebagai golongan
masyarakat yang terendah yakni setara dengan kelompok papara atau golongan
masyarakat budak. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo adalah pendatang
dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa.
Selain juga dengan pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII,
maka alasan-alasan tersebutlah yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan
intimidasi terhadap masyarakat Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang
Kaledupa dialami oleh masyarakat Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela,
maupun Mantigola Umala juga tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun
di daratan pulau Kaledupa. Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh kebun yang
bertugas untuk membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orang-orang
Kaledupa. Tiga kampung Mola di Kaledupa identik dengan warna kemiskinan dan
ekonomi yang mandek.
Dari
pengamatan yang dilakukan selama penelitian, dari dua pasar yang ada di
Kaledupa, tidak ada pasar yang berkembang selayaknya pasar yang ada di Mola.
Sungguh aneh memang, daerah yang kaya akan sumberdaya ikan seperti di Pulau
Kaledupa, namun untuk membeli seikat ikan segar saja harus menunggu hingga
siang hari, menunggu orang-orang Bajo dengan koli-kolinya membawa ikan hasil
tangkapan. Tidak jarang juga orang-Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol.
6, No. 1 2012 | 41
orang yang berbelanja di pasar harus kecewa karena
tidak ada ikan. Warung-warung kebutuhan juga sepi peminat, mungkin juga karena
harga barang yang selangit.
Tidak
hanya perkembangan ekonomi saja yang mandek, melainkan jauh dari hal tersebut,
adaptasi yang dilakukan oleh orang-orang Bajo terhadap orang Kaledupa karena
mendapatkan perlakuan yang tidak “manusiawi”, juga pada akhirnya menyebabkan
keengganan orang-orang Bajo ikut aktif menggeliatkan perekonomian di Pulau
Kaledupa. Menurut pengakuan ibu MM, bentuk-bentuk perlakuan orang darat
Kaledupa yang tidak manusiawi, misalnya orang Bajo menjual ikan di pasar
Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan menawar harganya, jika orang
Bajo tidak sepakat dengan harga ikan yang ditawarkan oleh darat, ikan biasanya
dirampas, kemudian orang darat akan memaki-maki orang Bajo, bahkan ada yang
dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh orang darat yang sedang mabuk.
Mantigola
sendiri mengalami masa keemasan, ketika perdagangan penyu sisik dan penyu hijau
marak diperdagangkan, dengan cara-cara tradisional tentunya. Dan tidak dapat
dipungkiri juga nelayan Bajo saat itu juga marak menggunakan bahan-bahan yang
tidak ramah lingkungan dalam kegiatan penangkapan, dan saat itu memang belum
ada pelarangan seperti saat ini setelah Wakatobi berstatus Taman Nasional.
Permintaan yang tinggi terhadap penyu hijau dari Bali, membuat banyak
orang-orang Mantigola naik haji, suatu lambang prestise bagi masyarakat Bajo.
Barulah saat taman nasional terbentuk pada tahun 1994, pelarangan terhadap
kegiatan penangkapan yang tidak ramah lingkungan, dan ketegasan tersebut
semakin menguat manakala Wakatobi berotonomi menjadi Kabupaten maka kegiatan
perdagangan penyu dihentikan, dan dilakukan pengawasan yang sangat ketat oleh
pihak jagawana taman nasional.
Masa-masa
kemakmuran juga terjadi ketika nelayan-nelayan Bajo Mola Mantigola masih bisa
menangkap hasil-hasil laut di wilayah perbatasan Indonesia-Australia.
Dimusim-musim tertentu, rombongan kapal lambo yang terdiri dari nelayan-nelayan
sawi maupun punggawa berangkat ke Pepela untuk melakukan penangkapan
hasil-hasil laut seperti mencari sirip ikan hiu, lola, penyu, dan tuna.
Mantigola juga memasok lambo bagi nelayan-nelayan di Pepela. Mantigola sendiri
adalah sentra pembuatan lambo, selain Mola Utara di pulau Wanci. Mencari nafkah
dengan melaut pada daerah penangkapan yang luas, dan pada waktu yang relative
cukup lama, ini sifatnya sebagai bentuk migrasi temporer disebut Lama.
Menurut Stacey (1999) lama diartikan sebagai berlayar atau untuk
berlayar. Tujuan lama adalah melakukan kegiatan penangkapan, pengangkutan
kargo, atau kegiatan membeli barang dan menjual kembali untuk masa periode
tertentu.
Namun,
semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah
Australia, menunjukkan bahwa pelarangan tersebut telah memukul mundur
perkembangan orang-orang Mantigola. Karena tidak bisa dipungkiri, bahwa
merantau ke Pepela, dan kemudian melakukan kegiatan penangkapan di perairan
Australia dianggap sebagai sumber nafkah yang mengantarkan beberapa orang
Mantigola dalam kelimpahan materi.
Terjangan
gelombang lainnya yang mulai meruntuhkan daya juang nelayan dan pengusaha di
Mantigola adalah dijadikannya kepulauan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada
tahun 1996 dengan nama Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNKW), dan otonominya
Wakatobi menjadi Kabupaten. Pada tahun 2003, wilayah kepulauan Wakatobi menjadi
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Buton. Zonasi bagi nelayan di Mantigola
menjadi momok yang menakutkan bagi nelayan di Mantigola. Bagi mereka zonasi
sebagai pembunuhan secara perlahan-lahan bagi nelayan Bajo. Beberapa tineliti
juga mengungkapkan bahwa selain karang, orang-orang Bajo di mantigola juga
tidak bisa lagi mengambil kayu-kayu bakau di hutan bakau.
Perjuangan
orang-orang Bajo di Pulau Kaledupa untuk mencari nafkah sesungguhnya menjadi
berlipat-lipat dibandingkan orang-orang Bajo di Mola. Orang-orang Kaledupa
tidak memberikan iklim kondusif bagi perkembangan perekonomian masyarakat Bajo.
Roda perekonomian tidak bergerak dengan cepat. Padahal berdasarkan potensi
ekologis, Pulau Kaledupa lebih kaya akan sumberdaya alam dibandingkan dengan
pulau Wanci. Tidak jarang, orang-orang Bajo mendapatkan perlakuan kasar dari
orang-orang Kaledupa. Perlakuan itu tidak terjadi saat ini, tapi terjadi sejak
orang-orang Bajo hidup menetap di Pulau kaledupa.
Berdasarkan
konteks sosialnya, masyarakat Kaledupa pada zaman Kesultanan Buton adalah
sebuah kerajaan kecil (Barata) yang mengakui kekuasaan atau takluk dengan
kekuasaan kesultanan Buton. Orang-orang Kaledupa sendiri terkenal memiliki
perangai yang tegas. Sebagai suatu sistem social, masyarakat kaledupa terdiri
dari empat kelas social, berdasarkan keturunan (ascribe status).
Golongan Kaomu adalah golongan masyarakat kelas atas yang memiliki status
sebagai golongan masyarakat bangsawan dan penguasa yang menguasai ranah
eksekutif. Pada lapisan kedua adalah kelompok bangsawan Walaka yang
menguasai ranah legislative. Dilapisan ketiga adalah golongan masyarakat Maradika
yang adalah pegawai dan pedagang. Lapisan bawah adalah golongan masyarakat Papara
yang merupakan golongan budak, buruh dan pekerja kasar.
Masyarakat
Kaledupa menempatkan masyarakat Bajo atau disebut oleh orang kaledupa dengan
istilah “amai wa’du” yang artinya orang asing dari laut, sebagai
golongan masyarakat yang terendah. Bagi masyarakat Kaledupa, masyarakat Bajo
adalah pendatang dan merupakan golongan masyarakat di luar sistem sosial
masyarakat Kaledupa. Ditambah dengan pola hidup masyarakat Bajo yang dinilai
oleh masyarakat Kaledupa “jorok” atau “tidak bersih” semakin mempertegas garis
batas antara orang-orang Bajo dan orang Kaledupa. Karena alasan tersebutlah
yang menjadikan orang-orang Kaledupa melakukan intimidasi terhadap masyarakat
Bajo. Hinaan dan cercaan dari orang-orang Kaledupa dialami oleh masyarakat
Bajo. Masyarakat Bajo baik di La Hoa, Sampela, maupun Mantigola Umala juga
tidak diberikan hak untuk memiliki tanah atau kebun di daratan pulau Kaledupa.
Orang-orang Bajo hanya menjadi buruh 42 | Wiyanti, Nur Isiyana. et.
al. Kapitalisme Lokal Suku Bajo
kebun yang bertugas untuk membersihkan dan merawat
tanaman kelapa milik orang-orang Kaledupa.
Intimidasi
dan perlakuan yang diskriminatif yang diberikan oleh orang-orang Kaledupa
terhadap orang-orang Bajo rupanya membentuk sifat penakut dari orang-orang Bajo
itu sendiri. Sifat yang terlekat pada masyarakat Bajo ini pada akhirnya
dijadikan sebagai alasan bagi orang-orang Kaledupa untuk tetap melakukan
tindakan diskriminatif. Bentuk perlakuan diskriminatif tersebut misalnya ketika
orang Bajo menjual ikan di pasar Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli
ikan menawar harganya, jika orang Bajo tidak sepakat dengan harga ikan yang
ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas, kemudian orang darat akan
memaki-maki orang Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh
orang darat yang sedang mabuk. Namun, tidak berarti semua masyarakat darat
berlaku jahat terhadap orang Bajo, ada juga orang-orang darat yang berjasa
kepada masyarakat bajo Mantigola dengan memberikan pengabdiannya sebagai guru
sekolah dasar, dan sekolah madrasah. Beberapa orang darat juga menjalin
kerjasama dengan nelayan Bajo, dengan memasarkan hasil tangkapannya ke darat.
Kemudian,
setelah beberapa komoditas laut yang bernilai tinggi dilarang, Perkembangan
ekonomi di Mantigola perlahan-lahan melambat. Mantigola sendiri adalah cabang
dari Mola. Usaha yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo Mantigola mengalami
kondisi “jatuh-bangun”. Menurut pengakuan orang-orang Mantigola, pemerintah
kurang memberi sentuhan terhadap orang-orang Bajo Mantigola agar ekonomi bisa
berkembang.
Kemudian,
penyebab kemandekan ekonomi di Mantigola berikutnya adalah, pembeli hasil-hasil
laut yang tidak langsung ke Mantigola, tapi membeli hasil-hasil laut hanya
sampai ke Mola. Bos-bos Cina yang ingin membeli ikan hidup, pada awalnya ke
Mantigola, mereka menyatakan ingin membeli ikan hidup nelayan di Mantigola.
Namun, ternyata Pak Choi dan Pak Hengki malah bekerjasama dengan pengumpul Di
Mola.
Melihat
konteks sejarah yang melatarbelakangi proses lahirnya kapitalisme di suku Bajo
Mola dan Bajo Mantigola, maka teori Weberian lebih tepat digunakan untuk
menganalisa “akar” dari berkembangnya kapitalisme lokal di suku Bajo. Seperti
apa yang telah diungkapkan pada bagian tinjauan pustaka yang membahas mengenai
ciri kapitalisme, teorisasi Weber mengungkapkan bahwa Weberian menekankan
analisa pada latarbelakang kemunculan kapitalisme, nilai-nilai lah yang pertama
berperan, kemudian barulah terjadi perubahan artikulasi cara produksi sebagai
hasil dari perubahan nilai tersebut. Sementara Marx menjustifikasi bahwa kelas
kapitalisme muncul karena ada kontradiksi internal dari kapitalisme yang
menyebabkan terkonsentrasinya kepemilikan properti di tangan kelas tertentu,
kemudian di sisi lain semakin meningkatnya jumlah proletariat.
Yang
terjadi pada suku Bajo Mola maupun Mantigola, kapitalisme masuk melalui “ide-ide”
tentang perdagangan hasil-hasil laut melalui An Tje seorang pengusaha dari
Tanjung Pinang. Penetrasi kapitalisme ini kemudian semakin berkembang juga
karena peran akulturasi dari orang-orang Bajo Mola dengan masyarakat Wanci
Mandati yang memang adalah pedagang. Melalui pertukaran ekonomi, ide mengenai
perdagangan hasil laut diterima dengan sangat baik oleh para aktor kapitalis.
Iklim yang kondusif untuk berekonomi juga muncul, karena hubungan “simbiosis
mutualisme” secara historis antara orang Bajo Mola dengan orang Wanci Mandati.
Proses
orang-orang Bajo Mantigola juga diawali melalui penetrasi nilai-nilai
kapitalisme. Misalnya seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa para
pengusaha perintis di Mantigola, bahwa proses belajar berusaha hasil-hasil laut
di mulai ketika mereka merantau ke Pepela, dan bekerja bersama di lambo orang-orang
Bajo di Pepela, awalnya menjadi sawi, kemudian ketika ilmu tersebut kemudian
diserap dari punggawa dan toke di Pepela, sekembalinya di Mantigola, ilmu
tersebut diterapkan. Sayangnya, proses akulturasi budaya dengan orang-orang
Kaledupa tidak memberikan ruang yang kondusif untuk mengembangkan usaha, selain
itu juga tekanan dari hadirnya taman nasional, membatasi ruang-ruang nafkah
bagi orang-orang Bajo Mantigola.
Karakteristik
Aktor Kapitalisme Lokal Suku Bajo Mola dan Mantigola
Orientasi
Nilai Budaya di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola
Persepsi
Manusia terhadap Alam di dalam Bentuk Kapitalisme Lokal
Bagi
orang Bajo Mantigola laut diibaratkan sebagian bagian dari deru nafas
kehidupannya. Alam semesta merupakan sejarah yang digambarkan, visi terhadap
ruang kehidupan, yakni laut juga merupakan visi tentang waktu. Menurut Mbo’,
kami orang Bajo tidak bisa hidup di darat, kami tidak bisa lepas dari laut
tempat kami berasal. Laut memberikan kehidupan, laut juga bisa memberi
kemurkaan. Menurut Zacot (2008) orang Bajo sangat unik, karena sesungguhnya
selalu menolak hidup di daratan, dan mengikuti kebiasaan makan orang daratan.
Itulah sebabnya orang Bajo sedikit memakan sayur, dan buah-buahan, apalagi
daging. Kemudian, sampai sekarang orang-orang Bajo Mantigola sangat percaya
“pertanda” yang diberikan laut, misalnya tinggi rendahnya air laut yang diukur
berdasarkan tiang tancap rumah, mampu memberikan isyarat kabar buruk yang akan
menimpa sang pemilik rumah. Tanda penghormatan orang Bajo Mantigola yang masih
sangat kuat dipegang ditunjukkan dengan penghoratan terhadap ritual tamoni
adalah ritual yang dilakukan dengan maksud untuk menyimpan ari-ari anak yang
baru dilahirkan.
Dengan
dimulainya kehidupan orang-orang Bajo Mola di daratan Wanci, secara
berangsur-angsur makna laut yang bermakna spiritual memudar. Bagi orang Mola,
laut digambarkan sebagai “rezeki”. Dengan makna tersebut, orang-orang Mola
melepaskan ranah spiritualnya dengan mulai melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi
produksi yang mulai meninggalkan keselarasan dengan alam. Beragam bentuk
modernisasi perikanan perlahan-lahan diterima, seperti yang telah dijabarkan
pada bab lima konteks sejarah perkembangan kapitalisme lokal. Sehingga
pemaknaan terhadap laut mempengaruhi segala Sodality: Jurnal Sosiologi
Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012 | 43
bentuk strategi bisnis yang cenderung agresif dan
mulai melakukan cara-cara untuk menguasai alam. Misalnya bagi sebagian besar
pengusaha tuna di Mola, ketergantungan terhadap teknologi citra satelit untuk
meramalkan berkumpulnya tuna mulai menarik perhatian mereka. Inovasi yang
diperolehnya oleh bagai di Bali menarik perhatian mereka. Menurut para
pengusaha tuna di Mola, teknik tradisional tidak mampu lagi memuaskan mereka.
Ketidakpastian tidak disukai oleh para pengusaha tuna di Mola. Mereka bersedia
mengeluarkan jutaan rupiah untuk memperoleh inovasi tersebut, sehingga
efisiensi usaha dapat tercapai. Ini menunjukkan kemunduran orang-orang Mola
terhadap kepercayaan mereka terhadap gejala-gejala alam.
Sebaliknya,
orang Bajo Mantigola yang bertahan hidup di atas laut, memaknai lautan tidak
hanya bermakna magis, akan tetapi juga dianggap orang-orang Mantigola sebagai
“kebun” tempat mencari nafkah. Orang Bajo Mantigola tidak peduli jika tidak
memiliki tanah di daratan Kaledupa, mereka hanya meminta “sedikit” tanah untuk
liang kubur tubuh mereka didaratan, dan “air tawar” sebagai bilasan setelah
mandi di laut, dan untuk memasak, selebihnya air laut yang berperan. Maka dua
sumberdaya yang nampaknya sedikit itu, namun bernilai sangat besar bagi orang
Bajo, harus bergantung pada kebaikan hati orang-orang darat yakni orang-orang
Kaledupa yang memiliki tanah di Kaledupa. Orang-orang Kaledupa yang berperangai
tegas, dan cenderung otokratis, menjadikan orang-orang Bajo lebih ofensif,
tertutup, dan lebih penakut. Ditambah dengan kesalahan orang-orang Bajo di masa
lalu, yang mendukung gerombolan, dan menyebabkan mereka harus terusir ke Mola,
maupun ke La Manggau. Semua ini pada akhirnya menciptakan rasa tidak percaya
yang berlebihan dari orang Kaledupa terhadap orang-orang Bajo. Semua bentuk
penghinaan, dan tindakan-tindakan kasar dari orang-orang Kaledupa diterima oleh
orang-orang Bajo Mantigola begitu saja, tanpa berani untuk melakukan perlawanan
kepada orang Kaledupa.
Karena
laut, beserta terumbu karang yang terkandung di dalamnya dimaknai sebagai
“kebun” milik, dan sumber pendapatan utama maka orang-orang Bajo Mantigola
cenderung memperlakukan laut dengan cara mereka sendiri, yang diikuti dengan
kepercayaan-kepercayaan tertentu. Selayaknya jika kita memiliki kebun di
daratan, misalnya alih fungsi lahan ke dalam bentuk apapun bisa kita lakukan
menjadikannya sebagai kebun kacang, atau mendirikan rumah adalah otoritas kita.
Demikian pula halnya dengan orang-orang Bajo, malah perlakuannya kepada laut
diidentikkan sebagai upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan. Misalnya
mengambil kayu bakau untuk dijadikan bahan bakar untuk memasak, mencungkil
terumbu karang untuk mendapatkan mata tujuh (abalone) yang bersembunyi dibalik
batu karang, dan mengambil kima yang duduk di atas karang, bahkan dahulu orang
Bajo sering memakai bahan peledak untuk mencari ikan.
Kemudian,
karena “kebun” orang Bajo Mantigola sangat luas, dan memiliki sumberdaya yang
berlimpah. Jika orang Bajo lapar, tinggal mengambil perahu dan jaring, maka
ketika ikan tertangkap, masalah kelaparan bisa teratasi. Dengan sistem
pengelolaan semberdaya seperti ini yaitu dengan berburu (gathering), menciptakan
suatu pola tertentu pada masyarakat Bajo Mantigola dalam sifatnya mengelola
keuangan rumahtangga yakni sifat boros yang berlebihan. Sehari saja nyaris enam
kali orang Bajo menghabiskan makanan. Belum jajan yang merupakan “keharusan”
untuk dinikmati oleh setiap rumahtangga Bajo Mantigola.
Ada
satu hal yang harus dipahami dalam perubahan makna laut bagi orang-orang Bajo
Mola. Kehidupan di daratan yang telah dialami oleh orang-orang Bajo, bisa
menjadi faktor yang menyebabkan bergesernya makna laut yang sedemikian dalamnya
bagi orang-orang Bajo, baik bermakna magis (sebagai persemayaman leluhur, dan
tempat hidup kuta dan tulli), bermakna sosial (sebagai identitas
sosial), dan bermakna ekonomi (sebagai sumber nafkah).
Sebelumnya,
makna magis menguasai ranah pemaknaan terhadap laut. Misalnya seperti yang
telah saya ungkapkan sebelumnya dalam bagian agama terhadap kapitalisme lokal,
bahwa berkat kepercayaan yang berlebihan mengenai laut beserta daya magis yang
dapat ditimbulkannya, menyebabkan timbulnya hubungan-hubungan,
pertukaran-pertukaran diantara orang Bajo dapat dilaksanakan, dan kehidupan
bermasyarakat yang harmonis tanpa harus hitung-hitungan untung dan rugi seperti
seorang kapitalis. Kepercayaan terhadap laut juga menghilangkan
ketegangan-ketegangan yang bisa ditimbulkan di antara orang-orang Bajo.
Hakekat
Manusia dengan Manusia di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Makna
hubungan manusia dengan sesama manusia bagi orang-orang Bajo, dan mempengaruhi
warna kapitalisme sebenarnya dapat dipahami melalui makna sama dan bagai. Makna
Sama (orang-orang Bajo) dan Bagai (orang-orang darat) yang
menegaskan bahwa ada garis tegas antara orang sama (Bajo) dan bagai (orang-orang
Daratan). Pada masyarakat Bajo, berkembang mitos bahwa Sang Dewata
memperuntukkan lingkungan laut bagi orang-orang Bajo (sama). Adanya konsep sama
dapu ma di laok yang berarti lautan miliki orang Bajo (sama). Yang
berarti pula lingkungan darat diperuntukkan bagi orang yang tinggal di darat (bagai)
(Zacot, 2002). Oleh karena itu, umumnya orang Bajo memiliki mata pencaharian
utama menangkap ikan atau memanfaatkan sumberdaya alam laut, sedangkan
lingkungan darat dengan segala potensinya kurang mendapat perhatian bahkan
tidak dimanfaatkan dengan baik. Menurut Sayuti (2004) di dalam kehidupan
sehari-hari, orang Bajo mengenal dua konsep yang berbeda di dalam interaksi
sosialnya yakni sama dan bagai. Mereka menyebut dirinya sama (orang
Bajo) yang membedakannya dengan orang bukan Bajo (bagai). Bagi orang Bajo,
orang bagai adalah semua masyarakat lainnya. Selanjutnya Sayuti
menekankan bahwa konsep sama dan bagai bukan hanya merupakan simbol
”Bajo” dan ”bukan Bajo”, tetapi juga merupakan simbol kehidupan di laut dan di
darat.
Istilah
sama mendukung gagasan untuk membuat orang-orang Bajo menjadi sebuah
masyarakat, sebab istilah ini mengingatkan setiap orang bahwa ia merupakan
warga 44 | Wiyanti, Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme Lokal Suku
Bajo
dan termasuk di dalam kelompoknya. Apabila seorang
Bajo menggunakan istilah sama, ia menitikberatkan pada apa yang ditunjukkannya
pada kelompoknya (Zacot, 2002). Pertama kesamaan antara dua orang Bajo, dan
kemudian antara semua anggota kelompoknya. Jadi, kata sama mirip sebuah kode,
ini menunjukkan suatu usaha untuk menciptakan sebuah perasaan kekompakan dan
juga untuk membedakan diri dari orang-orang lainnya. Munculnya kata ini
tentunya terjadi bersamaan dalam sejarah masyarakat Bajo, dan merupakan hasil
dan ungkapan sejarah mereka. Peringatan terhadap dunia bagai diinternalisasikan
kepada anak-anak generasi penerus mereka dalam setiap kehidupan sehari-hari.
Terminologi
sama dan bagai bagi masyarakat Bajo, serupa dengan temuan Hefner
(1999) mengenai identitas tegas orang-orang Tengger dan dan orang-orang
Pasuruan, khususnya dalam perjalanan perubahan ekonomi. Orang Tengger
menganggap, orang Pasuruan yang beradaptasi dengan ekologi dataran rendah
sangat tidak adil , dengan banyaknya orang yang tidak punya tanah, perbedaan
mencolok antara yang kaya dengan yang miskin, serta sejak dulu tidak memiliki
toleransi keagamaan, sadar status, yang dihargai hanyalah pangkat, dan tidak
ramah. Sementara orang Tengger yang hidup di gunung tidak prestisius dan
terbuka (blater), dan orang gunung mengenggap diri mereka semua sama, sedang keturunan
yang sama pula.
Makna
ini tidak hanya sekedar sebagai identitas etnik Bajo, karena kemudian makna ini
merasuk pada pemilihan usaha yang akan dikembangkan, dan mempengaruhi
bentuk-bentuk pola ekspansi usaha. Jika orang Bugis tidak mempermasalahkan ranah
ekspansi usaha, misalnya orang bugis yang menguasai kegiatan penangkapan ikan
dengan trawl, di Tarakan, dan Tawao, menguasai pertambakan di Delta Mahakam,
menjadi petani coklat yang kaya raya di Kolaka, dan orang Bugis di Samarinda
yang memonopoli impor bahan pangan hingga senjata api (Pelras, 2006). Maka
tidak heran, jika ekspansi usaha orang-orang Mola bukan dengan menguasai
daratan Wanci, seperti membeli tanah di daratan, kemudian membuka kios bahan
bangunan sebagai usaha utama, dan kemudian usaha tersebut berdampingan, atau
ikut-ikutan orang Mandati berjualan barang bekas impor dari Singapura. Ekspansi
usaha orang-orang Mola terbuka untuk segala usaha yang berbau sumberdaya laut,
seperti memperkuat armada penangkapan, menambah modal untuk memperkuat basis
perniagaan hasil-hasil laut, ekspansi pada jalur transportasi.
Maka,
bagi masyarakat Bajo Mola ekspansi kapital dalam bentuk penguasaan lahan di
daratan cenderung tidak akan dilakukan oleh orang-orang Bajo, karena
orang-orang Bajo memahami bahwa laut sebagai wilayah kekuasaannya, sementara
segala sesuatu yang ada di daratan adalah merupakan wilayah kekuasaan
orang-orang darat (Bagai). Seperti pribahasa orang-orang Bajo (Zacot,
2008) : “bagai tikka ma dara (datang dari darat, hidup di darat) atau bahkan
lebih lazim tikka ma diata (datang dari atas, dalam arti “dari sana
menuju ke darat).
Makna
sama dan bagai juga masih memiliki makna yang mendasar dalam hal
pemilihan tenaga kerja, bahkan untuk memilih tangan kanan, yang akan membantu
mereka menjalankan usaha. Misalnya bagi usaha ikan kerapu hidup, sudah menjadi
harga mati nelayan yang diapai adalah nelayan pancing Bajo, dan koordinator
(punggawa) pada masing-masing kelompok penangkapan juga harus orang-orang Bajo
dan terkait dengan hubungan kekerabatan (daparanakan). Bagi koordinator,
daparanakan sebagai institusi jaminan sosial, dalam artian kemanan posisi
mereka sebagai kapitalis kecil. Meskipun Nampak sedikit menyulitkan posisi
koordinator dengan mekanisme patron client ini, namun jaminan keuntungan
bisa diperoleh dari pola hubungan ini. Ini juga sekaligus menemukan bahwa tidak
hanya daparanakan saja yang digunakan sebagai institusi pendukung usaha, namun
kelembagaan patron client harus diakui sebagai mekanisme yang
menghasilkan surplus dalam pengembangan usaha ikan hidup. Bagi nelayan sawi
terhadap coordinator, maupun coordinator dengan pengumpul besar yakni Hj. NI,
dua kelembagaan ini memberikan jaminan sosial khususnya kepada nelayan sawi
yang rentan hidup mendekati batas subsistensinya.
Daparanakan
dianggap sebagai “perekat” antara
para aktor kapitalis lokal Mola. Aturan main persaingan bisnis juga diatur
dalam kelembagaan ini. Menurut Zacot (2008) Daparanakan adalah sebuah keluarga
dalam arti “orang yang tinggal” dalam satu rumah”, lingkungan keluarga,
kelompok orang-orang yang hidup dibawah satu atap rumah”, lingkungan keluarga,
kelompok orang-orang yang hidup di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan
keluarga mereka. Daparanakan merujuk pada ruang geografis.
Nilai
dalam kelembagaan daparanakan, juga serupa dengan nilai pesse’ babua,
yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, yang
mengindikasikan perasaan haru (empati) terhadap tetangga, kerabat atau atau
sesame anggota kelompok social. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya
pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam
kelompok social yang sedang dalam keadaan serba kekurangan. Pesse’ berhubungan
erat dengan identitas bersama yang merupakan pengikat para anggota kelompok
sosial (Pelras, 2006).
Untuk
beberapa kasus pengusaha hasil ikan di Mola, menunjukkan kecenderungan bahwa
batas etnisitas sama dan bagai rupanya mulai samar, bukan hanya karena
perubahan zaman, melainkan orang-orang darat yakni orang-orang Mandati bisa
menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Bajo. Di pasar-pasar, pedagang ikan
dari Mandati duduk berdampingan dengan pedagang ikan dari Bajo Mola, semua
berbaur, tanpa harus ada diskriminasi. Orang Mandati sendiri paham benar peran
orang-orang Bajo bagi perkembangan usaha dagang mereka. Sebagai konsumen yang
potensial bagi pasar komoditas orang-orang Mandati, Bajo diperlakukan setara.
Beberapa aktor kapitalis lokal Mola seperti pengumpul tuna dan teripang saja
sudah menggunakan orang-orang darat untuk menjadi mitra kerjanya.
Karena
hakekat orang Bajo Mola sudah mulai menganut kecenderungan ke arah
individualisme, menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri, maka kecenderungan
terjadinya bentuk-bentuk transfer keuntungan dalam Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012 | 45
bentuk akusisi kapital sangat besar kemungkinan
terjadinya. Akusisi diartikan sebagai beberapa faktor-faktor tertentu dan
alokasi pendapatan yang strategis yang bertujuan untuk memperoleh akses kepada
sumberdaya eksternal dalam artian melalui pertukaran didalam sistem tersebut.
Dengan kata lain, hal ini tidak menimbulkan pertukaran interaktif dengan orang
lain, namun lebih pada pertukaran dengan pihak-pihak seperti perusahaan, dan
kelembagaan dari aktor-aktor yang terlibat, Perluasan dari pola-pola hubungan
dan akses terhadap jaringan, serta ekspansi terhadap segala bentuk
aktivitas-aktivitas dan bentuk-bentuk kemungkinan yang akan terjadi (Herbon,
1994 dalam Dharmawan, 2001). Bentuk pola-pola akusisi capital yang
dilakukan oleh para pengusaha hasil laut di Mola adalah dengan mengalokasikan
seluruh keuntungan yang diperolehnya, untuk memperkuat basis modal usaha yang
paling menguntungkan. Sumber keuntungan bisa diperoleh dengan diversifikasi
usaha tidak pada usaha perikanan tangkap dan pelayaran saja, namun usaha-usaha
non penangkapan misalnya keuntungan dari hasil toko kelontongan yang dikelola
oleh sang istri. Bentuk pencaplokan lainnya adalah dengan menghambat laju
informasi mengenai jalur perdagangan tertentu. Namun hal ini cenderung terjadi
terhadap pengumpul teripang dan ikan hidup di Mola yang cenderung tinggi
persaingan. Informasi diartikan mereka sebagai peluang mendapatkan bos baru
dengan harga yang lebih baik yang artinya juga peluang keuntungan semakin
besar. Selain pencaplokkan informasi, juga terjadi pencaplokan nelayan yang
terikat pada salah satu pengumpul, dengan tujuan perebutan hasil-hasil laut.
Maka agar tidak terjadi bentuk-bentuk pencaplokan usaha tersebut, beberapa
pengumpul-pengumpul besar memelihara jaringan sosial berbasis hubungan seetnis
Bajo, dan terkait hubungan daparanakan dengan nelayan-nelayan produsen, dan
mengikat “cabang-cabang” usaha dengan modal pinjaman yang berbunga rendah, dan
mengikat.
Sementara
di Mantigola perbedaan antara sama dan bagai sangat tegas.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya pada konteks kesejarahan masyarakat
Mantigola, yang mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang Kaledupa,
menyebabkan batas tegas tersebut tetap terpelihara. Ini juga memiliki pengaruh
jika dilihat dari sisi bentuk ekspansi bisnis. Maka bentuk jejaring bisnis
cenderung berpola tertutup. Ini disebabkan karena resiko usaha yang sangat
besar, maka untuk mencari “kemanan”, pola kerjasama hanya dilakukan oleh
pihak-pihak yang terkait hubungan daparanakan dengannya, dan diusahakan harus
orang Bajo (Sama). Dengan kondisi yang serba sulit, masyarakat Bajo
Mantigola bertahan pada etika sosial kolektifisme dengan memanfaatkan sifat
inklusifitas orang-orang Bajo (makna Sama), dan hubungan “daparanakan”
untuk menghadapi segala bentuk-bentuk kesulitan hidup. Misalnya pada kasus
pengumpul ikan hidup maka basis etika-nilai-moralitas yang dianut sang aktor
kapitalis adalah etika sosial kolektivisme. Nilai-nilai daparanakan (kerabat)
dan darumah (keluarga inti) mewarnai bentuk-bentuk transaksi bisnis
antara nelayan sawi dengan koordinator atau punggawa, dan antara punggawa
dengan sang pengumpul yang juga adalah istrinya. Keuntungan yang diterima oleh
sang istri juga dinikmati oleh sang suami.
Perlu
diketahui, bahwa sesama pengumpul di Mantigola dan khusususnya untuk komoditas
ikan hidup masih terkait hubungan adik kakak kandung, sehingga persaingan
antara pengumpul yang satu dengan lainnya cenderung rendah. Karena persaingan
antara pengumpul ikan hidup satu dengan lainnya sangat rendah, maka kemungkinan
terjadinya akusisi atau pencaplokan kapital peluangnya sangat rendah. Bukannya
saling mencaplok usaha, biasanya malah mereka para pengumpul ikan saling
membantu jika masing-masing mendapat kesulitan di dalam perjalanannya mengelola
usaha.
Seperti
komoditas tuna di Mola, maka dapparanakan juga menjadi kelembagaan penopang (supporting
institution) bagi pengembangan usaha ikan hidup. Tidak hanya dapanakan,
dambarisan dan bares tutuku juga memberikan peranan yang sangat
besar bagi “bertahannya” para pengumpul ikan hidup di balik terpaan arus
persaingan usaha dari pihak-pihak di luar sistem sosial mereka sendiri.
Praktik
hubungan patron client antara punggawa dan sawi menjalankan fungsi
ekonomi sekaligus sebagai jaminan sosial bagi nelayan sawi maupun nelayan
punggawa dalam mempertahankan eksistensi posisi mereka di masyarakat. Secara
umum pranata patron client merupakan sebuah kelembagaan yang lahir dari
rasa saling percaya antara beberapa kelompok kelas nelayan, yakni golongan
pemilik kapal sebagai patron dan golongan yang tidak bermodal, dan hanya
menjual tenaga. Selain kepercayaan, resiprositas atau hubungan timbale-balik
antara punggawa dengan sawi melanggengkan hubungan ini yang memiliki efek ganda
pada klien, karena menyelamatkan disaat sulit menguntungkan sekaligus merugikan
karena sifatnya yang eksploitatif.
Hakikat
hubungan manusia bagi orang Bajo Mola dan Mantigola juga dimaknai dalam
bagaimana orang-orang Bajo memaknai teman. Terkait dengan makna teman, bisa
berarti pertemanan dengan orang lain di luar sistem sosialnya, diluar komunitas
sama, dan daparanakannya, maupun secara inklusifitas di dalam
kelompoknya. Bagi orang Mola segala bentuk kongsi antara dirinya dengan bagai,
baik pihak eksportir, nelayan bagai, maupun orang sama dan daparanakannya
merupakan asset bisnis sebagai alat maksimisasi profit. Namun, ada yang unik
dari pemaknaan ini bagi orang-orang Bajo Mola. meskipun inklusifitas kelompok
dalam bentuk pertemanan dengan orang-orang sama dianggapnya sebagai asset
bisnis, tetapi memperlakukannya berbeda bila berhubungan dengan bagai.
Tidak seperti berhubungan dengan bagai yang cenderung ingin kuat di dalam
posisi tawar-menawar, para aktor kapitalis Mola lebih “melunak”, serta
cenderung lebih longgar dengan sesama orang sama. Bentuk keunikan
memandang teman bagai ini misalnya, para aktor kapitalis akan menetapkan
kesepakatan hitam di atas putih terhadap bentuk kongsi. Sementara jika mereka
bermitra dengan sang daparanakan, perjanjian tersebut hanya lisan. Ini
merupakan bentuk unik dari proyek bersama di antara orang-orang Bajo. Tidak ada
peraturan, kelompok-kelompok terbentuk dan membubarkan diri begitu saja. Ketika
masing-masing sudah merasa mapan kemudian mereka bersepakat untuk berpisah, dan
tidak saling 46 | Wiyanti, Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme Lokal
Suku Bajo
menuntut harta kemitraan bersama, semuanya
terselesaikan dengan “damai”, tanpa menuntut ini dan itu. Dan setelah itu,
mereka tetap saling bekerjasama untuk memperkuat sendi-sendi ekonomi.
Namun,
bagi orang Mantigola teman khususnya sesama orang sama dimaknai lebih sebagai
asset sosial, atau sebagai asset kekuatan terakhir bagi orang-orang Mantigola.
Kesetiakawanan yang kuat antara orang-orang sama, memungkinkan mereka
membangun sebuah desa, sebagai suatu keluarga atau dambarisan. Di
Mantigola, dari terbitnya matahari hingga tenggelam kembali, pertukaran tidak
pernah berhenti, seperti tidak memperhatikan nilai yang saling tertukar
tersebut bisa lebih menguntungkan atau merugikan. Pertukaran bisa dalam bentuk
memberi ikan hasil tangkapan, meminta kayu, meminta air, meminta batang tebu,
meminta ubi kayu untuk dijadikan kasoami. Individualisme di dalam jiwa sang
aktor di Mantigola bukanlah hanya cara untuk memperkaya diri sendiri, melainkan
juga untuk memberikan perlindungan sosial kepada orang-orang sama. Maka, tidak
ragu bagi siapapun yang melihat bahwa dibalik semua tekanan kehidupan yang
mendera masyarakat Bajo Mantigola, makna “teman sesama Bajo” merupakan kekuatan
terakhir yang digunakan oleh orang-orang Mantigola untuk bertahan hidup. Bagi
orang Mantigola, pertemanan yang intim dengan bagai Kaledupa, jarang terjadi.
Kalaupun terjadi, biasanya itu terbentuk karena adanya ikatan yang
mempersatukan mereka dalam bentuk ikatan perkawinan, baik langsung dari dirinya
dengan orang Kaledupa maupun dari pihak daparanakannya.
Kemudian,
bentuk upaya “bertahan” yang ditempuh oleh aktor dalam membangun aliansi bisnis
strategi ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor kekuasaan lain sebagai
bentuk rasionalitas formal adalah dengan memberikan dukungan-dukungan politis
kepada salah satu elit yang akan bersaing dalam PILKADA 2011, yang merupakan
putra Bajo. Salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan membiayai
posko-posko sang putra Bajo di Mantigola. Dan membantu pembiayaan kampanye sang
putra Bajo. Menurut H. DJM, orang-orang Mantigola saat ini seperti telur di
ujung tanduk, karena mata pencaharian semakin sulit didapat, selain karena
perputaran ekonomi di Kaledupa tidak berjalan, sistem zonasi sangat menyulitkan
nelayan-nelayan Mantigola untuk mencari uang di Karang. Harapan orang-orang
Mantigola kini hanya berada di tangan sang putra Bajo.
Hakikat
Hidup di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Selain
kegesitannya mengelola usaha orang-orang Mola, yang juga patut diperhitungkan
adalah kegigihannya dalam menghadapi gelombang “cobaan” yang mencoba menggoyang
fondasi bisnis orang-orang Mola. Dengan mengandalkan solidaritas yang tinggi
diantara daparanakannya, secara-bersama-sama dilakukan upaya-upaya untuk
mengamankan usahanya. Misalnya ketika Pengusaha Tionghoa, yang ingin
mengupayakan usaha tuna di Mola, karena sistemnya yang sangat spekulatif, dan
berupaya untuk mematikan perkembangan pengumpul-pengumpul tuna di Mola. Upaya-upaya
perlawanan terhadap pengusaha-pengusaha Tionghoa menurut Die dalam Tan
(1981) juga dilakukan oleh perkumpulan koperasi pengusaha-pengusaha pribumi
lokal di Pekalongan dan Jepara.
Menurut
Die dalam Tan (1981), Di daerah-daerah orang-orang Minangkabau di Pantai
Barat Sumatera, dan orang Melayu di Sumatera ; suku-suku ini terkenal karena
bakat dagang mereka, peranan orang Tionghoa relative tidak menonjol. Ini
menunjukkan bahwa pedagang Tionghoa hanya terdapat di tempat-tempat dimana
jasa-jasanya dibutuhkan, sehingga mereka sama sekali tidak dapat menghalangi
kesempatan orang Indonesia untuk maju di dalam bidang ini.
Cobaan
berikutnya adalah ketika usaha tuna yang dikembangkan oleh orang-orang Mola,
terancam gulung tikar karena adanya kebijakan global mengenai sertifikasi
produk-produk tuna yang akan diekspor ke Eropa harus bebas dari bakteri
Salmonella. Maka untuk mengantisipasi kerugian yang dialami tuna dikirim bukan
lagi dalam bentuk gelondongan, melainkan dalam bentuk potongan-potongan daging
tuna yang telah di loing. Loing sendiri baru dilakukan oleh
pengusaha tuna semenjak tahun 2008. Meloing diharuskan oleh setiap perusahaan
karena adanya sertifikasi daging ikan tuna yang harus bebas dari salmonella.
Masuknya teknologi ini, menurut pengakuan para pengusaha tuna, juga
meminimalisasi kerugian, karena dengan pengiriman dalam bentuk gelondongan
tuna, resiko kerusakan tuna menjadi sangat tinggi.
Upaya
untuk semakin memperkokoh usaha para usahawan Bajo Mola adalah juga dengan
membangun suatu aliansi bisnis ke luar dengan penguasa (negara) atau aktor
kekuasaan lain sebagai bentuk rasionalitas formal sang aktor. Misalnya para
pengumpul tuna salah satu bentuk usaha membangun aliansi adalah dengan
berkoalisi dan mendukung salah satu calon Bupati Wakatobi dalam Pilkada tahun
ini adalah agar supaya usaha hasil laut yang dikembangkan oleh orang-orang Bajo
khususnya tuna bisa lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah.
Sementara,
bagi orang Bajo Mantigola hakekat hidup erat dengan keberadaan laut di dalam
kehidupannya. Laut mengarahkan masyarakat Bajo untuk tunduk pada lingkungan,
dan harus terus menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan air laut. Hidup bagi
orang-orang Bajo harus dibina terus menerus, terpadu, dan rukun. Maka selama
laut dimiliki utuh oleh mereka, maka kehidupan akan berjalan baik. Sebab laut
penjamin kehidupan orang-orang Bajo sekaligus sebagai identitas mereka.
Memaknai hidup erat hubungannya dengan bagaimana para aktor kapitalis Bajo
memaknai “usaha”. Dari penjelasan sebelumnya digambarkan bahwa usaha dimaknai
oleh orang-orang Bajo Mola sebagai upaya menghasilkan keuntungan atau
maksimisasi profit. Keuntungan tersebut diupayakan sebagai investasi jangka
panjang. Sehingga beragam bentuk individualisme yang diarahkan untuk memperkaya
diri sendiri, dan dahulu berusaha dihindari oleh orang-orang Bajo, dianggap
sebagai suatu bentuk kewajaran. Aktor kapitalis Mola menunjukkan masyarakat
Bajo bisa menjadi orang “berada”, kemiskinan dan kesederhanaan bukan lagi Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012 | 47
menjadi ciri khas keberadaan orang-orang Bajo. Namun,
kecenderungan ini rupanya melegalkan segala bentuk penyerapan keuntungan yang
berlebih atas nama hubungan persaudaraan orang-orang Bajo. Sehingga adalah
kewajaran jika orang Mola menghambat laju kemajuan Mantigola, melalui mekanisme
ketergantungan yang tinggi dengan mereka.
Sementara
bagi para aktor di Mantigola, usaha dimaknai sebagai jalan untuk mempertahankan
dirinya dari beragam bentuk guncangan-guncangan sosial. Usaha dimaknai sebagai
cara untuk mencari nafkah. Berbeda dengan orang-orang Mola yang memaknai usaha
sebagai jalan untuk akumulasi kapital, maka usaha sebagai upaya bertahan hidup.
Usaha juga tidak serta merta untuk membeli barang-barang yang sepertinya tidak perlu,
karena mereka telah terbiasa jarang memiliki harta benda.
Pada
akhirnya, yang cenderung nampak adalah bentuk kepasrahan orang-orang Bajo
Mantigola. Bagi mereka semakin lama hidup mereka semakin sulit, dan mereka juga
kebingungan dengan ketidakberpihakan pemerintah terhadap mereka. Semua ruang
gerak orang-orang Bajo Mantigola semakin sempit, dan mereka tidak diberikan
alternative sebagai pengganti ruang-ruang yang dipersempit tersebut. Misalnya,
jika mereka tidak boleh mengambil kayu bakau untuk dijadikan kayu bakar, maka
menurut orang Bajo Mantigola adalah tugas pemerintah untuk membantu mencarikan
jalan keluar dari permasalahan tersebut, yang terwujud dalam sikap
kepasrahannya terhadap Tuhan atas segala bentuk kesulitan hidup yang
dialaminya. Selain kepasrahan terhadap nasib, juga terjadi ketidakmampuan
bersaing juga terjadi dengan pengusaha-pengusaha ikan di Mantigola dengan
bos-bos eksportir yang datang langsung untuk bertransaksi dengan nelayan
produsen tanpa melalui pedagang perantara di Mantigola.
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah, jika pengumpul Mola berani menjadi “kaki tangan”
eksportir ikan Hidup, mengapa pengumpul di Mantigola tidak melakukan hal yang
sama dengan daparanakannya di Mola. Jawabannya adalah karena adanya sifat dasar
orang-orang Mantigola yang cenderung “takut” untuk mengambil resiko terhadap
konsekuensi yang akan mereka peroleh, jika dikemudian hari terjadi sesuatu yang
berhubungan dengan pelanggaran hukum. Sikap yang “penakut” ini, rasanya kontras
dengan pemaknaan kita terhadap suku bajo yang dahulu hidup berpindah-pindah,
dan “berani” mengarungi lautan beserta keganasannya. Sifat penakut ini muncul
diduga sebagai suatu bentuk adaptasi orang-orang Bajo Mantigola karena secara
kontekstual hubungan yang diskriminatif terbentuk antara orang-orang Kaledupa (Bagai
Kaledupa) dengan orang-orang Bajo (Sama) sejak awal kedatangan suku
Bajo di Pulau Kaledupa. Selain itu juga, pengalaman menghadapi Jagawana, dan
beberapa kali tersandung masalah hukum dan misalnya pengalaman para pengusaha
penyu, dan ikan kerapu hidup yang suaminya di kurung, juga mempengaruhi
agresifitas dalam berusaha.
Dan
alasan terakhir, terkait dengan kepemilikan modal usaha yakni uang yang
terbatas, sementara usaha penyu dan ikan napoleon yang keuntungannya akan dijadikan
investasi sudah tidak diusahakan karena terkait masalah pelarangan dalam
kegiatan penangkapan maupun penjualan.
Hakekat
Karya di Dalam Bentuk Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Beberapa
kelompok masyarakat ada yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk
bertahan hidup saja. Ada pula yang memandang bahwa bekerja dapat meningkatkan
status. Dan ada pula yang menganggap bahwa kerja untuk menambah karya yang
lainnya. Pada saat masyarakat Bajo hidup dalam kondisi berpindah-pindah, kerja
bagi mereka adalah untuk bertahan hidup dari kerasnya gelombang lautan. Saat
ini bagi masyarakat Bajo khususnya Mantigola pemaknaan tersebut tidak banyak
berubah. Segala bentuk tekanan yang mengancam kehidupannya, antara lain
perlakuan diskriminatif dari masyarakat Kaledupa, mekanisme ketergantungan yang
diciptakan sendiri oleh orang-orang Bajo Mola dalam bentuk pinjaman modal usaha
yang sifatnya “terikat”, semakin menyempitnya ruang gerak nelayan Bajo
Mantigola dalam mencari nafkah, karena adanya zonasi taman nasional, dan
berlakunya MoU Box 1974, memperlihatkan tidak berubahnya pemaknaan mereka
mengenai hakekat kerja sebagai upaya untuk usaha bertahan hidup.
Makna
kerja terkait erat dengan bagaimana orang Bajo baik Mola dan Mantigola
memandang modal. Bagi orang-orang Mola, modal merupakan suatu investasi jangka
panjang, maka para aktor kapitalis lokal di Mola berupaya agar modal semakin
berkembang. Untuk menyokong modal yang dibutuhkan demikian besarnya, maka tidak
ada kata “kekosongan” usaha, segala bentuk usaha-usaha perikanan diupayakan
untuk mengisi kantong-kantong modal yang akan diputarkan berikutnya.
Modal
bagi aktor di Mantigola dimaknai sebagai alat untuk mempertahankan usaha yang
telah ada. Sementara untuk mengembangkan pada usaha lain yang menawarkan
keuntungan, akan tetapi ke depan menghadapi resiko akan ditolak mentah-mentah.
Bagi para aktor di Mantigola modal juga dipandang bukan saja untuk usaha,
melainkan modal juga dipersiapkan untuk menghadapi pihak-pihak tertentu yang
sekiranya berupaya untuk menghalangi mereka dalam mencari nafkah. Modal
digunakan juga untuk membiayai pembebasan sang suami yang ditahan oleh pihak
aparat kemanan, karena melanggar aturan taman nasional.
Tidak
dipungkiri juga oleh orang-orang Bajo Mantigola, bahwa jika pada saat mereka
melakukan kegiatan penangkapan di karang, kemudian dijaring tersangkut penyu,
penyu tidak dilepas, melainkan dibawa pulang, kemudian dijual. Hal itu
dilakukan semata-mata karena kesulitan yang dihadapi orang-orang Bajo, dan
dianggap sebagai sebuah keberuntungan, karena artinya akan nada uang yang
dibawa pulang untuk pulang. Dan mereka menyadari, tindakan yang dilakukannya
jika diketahui oleh jagawana akan dikategorikan sebagai pencurian. Namun bagi
mereka, itu bukanlah mencuri, karena laut milik mereka. Mencuri bagi
orang-orang Bajo Mola dipersepsikan dengan memasuki rumah orang lain, tanpa
seizing pemilik rumah, dan diam-diam mengambil harta milik orang lain.
Sementara karang adalah milik orang 48 | Wiyanti, Nur Isiyana. et.
al. Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Bajo, jadi jika penyu maupun kima yang terlarang di
karang diambil oleh orang Bajo diartikan oleh orang di luar sistem social Bajo
sebagai pencurian, maka artinya orang Bajo mencuri di dalam rumah sendiri.
Menurut Scott (1985), apa yang dilakukan oleh nelayan Bajo Mantigola tersebut
sebagai suatu bentuk perlawanan yang sifatnya informal, perorangan, anonim, dan
tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan keuntungan yang marjinal.
Persepsi
Manusia terhadap Waktu di Dalam Kapitalisme Lokal Suku Bajo
Orang-orang
Bajo dengan hidupnya yang dahulu, menganggap bahwa apa yang didapat hari ini,
juga dihabiskan hari ini juga. Ini karena bagi mereka kehidupan penuh dengan
ketidakpastian. Bagi mereka, menyimpan sesuatu, apalagi uang, dan akan
diupayakan kembali tidak dihiraukan. Orientasi mereka bukan pada masa depan
melainkan pada masa kini. Saat ini orientasi nilai yang hanya memandang masa
kini saja, memang cenderung masih dilakoni oleh orang-orang Bajo, namun ini
dianut oleh orang-orang Bajo dari kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi,
misalnya nelayan kecil, atau nelayan sawi. Orientasi ini sebenarnya dikeluhkan
oleh beberapa pengusaha di Mola, keprihatinan mereka terhadap nelayan kecil
yang tidak berkembang kualitas hidupnya karena sifat kekurang pandaian mereka
dalam mengelola keuangan. Menurut Zacot (2008), kecepatan orang-orang Bajo
menghabiskan makanan dan mencari makan tidak lah sama. Pada saat makan atau bila
seseorang tiba-tiba ingin makan tetapi tidak ada makanan yang tersedia di
rumah, ia akan pergi mencarinya di laut atau di desa. Jika tidak ada seekor pun
ditangkap atau bila tidak ada uang ia akan menunggu. Sebaliknya, bila makanan
berlimpah-limpah ia mendapat makanan (dengan daya upayanya sendiri atau dengan
menjual jasa) atau seseorang memberi makanan kepadanya, maka makanan ini dengan
sendirinya dihabiskan. Orang-orang Bajo seperti ini memandang segala bentuk
karya hanya sebagai alat untuk menafkahi hidupnya.
Pemaknaan
terhadap waktu ini dipengaruhi oleh ketidakpastian orang-orang Bajo untuk
mendapatkan makanan, dan ketidakmungkinan untuk menyimpannya. Menurut Zacot
(2008) sifat ini agaknya juga disebabkan pada kenyataan bahwa orang Bajo
mendapat, menunggu dan menghabiskan makanannya secara tersendiri menurut irama
yang tidak tetap. Semua dapat dijual, semua dapat dibeli. Ini merupakan proyek
bebas, suatu prakarsa. Harga ikan dan bahan makanan lainnya turun naik sesuai
dengan banyaknya ikan. Sehingga orang Bajo tidak mempunyai sistem ekonomi yang
diterapkan pada desa atau pada sebagian penduduk. Tidak ada peraturan yang
dibuat sebelumnya, yang secara tetap mengatur berkumpulnya orang-orang dengan
tujuan social dan ekonomi.
Perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola, karena perkembangan masyarakat dan
penetrasi kapitalisme dari orang-orang Mandati dan gempuran kapitalisme global
memunculkan pemikiran-pemikiran rasionalitas terhadap ekonomi dan uang, dan
pada akhirnya menciptakan orang-orang Bajo Mola yang berjiwa wirausaha dan yang
pandai mengelola keuangan. Yang tidak berfikir pada masa kini saja melainkan
juga berfikir pada masa depan. Meskipun nilai-nilai tertentu tetap mereka
pertahankan. Beberapa orang-orang Bajo yang seperti ini menganggap bahwa karya
yang dihasilkan akan digunakan untuk melakukan ekspansi kapital dengan
menginvestasikan keuntungan untuk mengembangkan usaha lainnya. Sementara, para
pengusaha Mantigola, yang kekurangan modal, lebih cenderung melihat segala
bentuk peluang hanya untuk orientasi pada masa kini. Segala bentuk keuntungan
dipersiapkan oleh pengusaha di Mantigola untuk bertahan
Gambaran
perbedaan orientasi nilai budaya terhadap warna yang berbeda di dalam
kapitalisme lokal diringkas dalam matriks berikut ini :
Matriks
1. Perbandingan Orientasi Nilai Budaya terhadap Warna Kapitalisme Lokal Suku
Bajo Mola dan Suku Bajo Mantigola
Dari
gambaran orientasi nilai di atas, antara Bajo Mola dan Bajo Mantigola
menunjukkan bahwa nilai (values) dari wujud pemaknaan terhadap hidup,
karya, persepsi terhadap waktu, terhadap alam (worldview), dan hubungan
manusia dengan manusia, memberikan warna tersendiri terhadap bentuk-bentuk
kapitalisme local. Walaupun berasal dari etnis yang sama, namun karena gerusan
nilai-nilai materialisme, maka warna kapitalisme sebuah perubahan social yang
juga sangat berbeda. Di satu sisi Mantigola yang masih mempertahankan ekonomi
pra kapitalismenya, sementara Mola yang progresif dan optimistic menerima
ekonomi kapitalis, namun masih mempertahankan nilai-nilai social tertentu, yang
rupanya memberikan warna “lokal” terhadap kapitalisme yang mereka bangun.
Rasionalitas
di Dalam Kehidupan Ekonomi Suku Bajo Mola dan Mantigola
Rasionalitas
bagi Weber dalam Turner (1991) ditunjukkan melalui prinsip-prinsip
kalkulabilitas dan control yang sistematis atas semua aspek kehidupan manusia
berdasarkan peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran yang umum, yang
mengesampingkan daya tarik norma-norma tradisional atau antusiasme kharismatis.
Sehingga rasionalitas dianggap Weber memberikan kemungkinan pengendalian yang
efektif terhadap alam Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012
| 49
dan masyarakat, membebaskannya dari
kegelisahan-kegelisahan dunia yang tidak dapat diramalkan dan melepaskannya
dari kekuatan gaib.
Berpijak
pada pemikiran Weber, maka pemahaman terhadap munculnya aktor kapitalis lokal
Bajo berfokus pada penguraian sikap-sikap, motif-motif serta
pandangan-pandangan yang terkenal dari aktor sosial yang saling mempengaruhi
dalam situasi-situasi yang mempunyai maksud. Sebuah motif menurut tafsiran
sosiologi, adalah suatu deskripsi verbal yang memberikan gambaran-gambaran,
penjelasan atau dasar kebenaran tingkah laku yang dilakukan oleh aktor sosial.
Motif-motif adalah jawaban-jawaban tertentu yang dianggap sebagai jawaban atas
pertanyaan mengenai alasan seseorang melakukan sesuatu. Menurut Turner (1991),
untuk memahami motif-motif, kita harus menganalisa konteks-konteks sosial di
dalam mana mereka berada dan lebih lanjut kita harus mengetahui bahwa
motif-motif yang subyektif dari hubungan antar manusia pada dasarnya
dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial makro pada keadaan kultural dan
ekonomi dari masyarakat-masyarakat.
Menilik
perbedaan strategi bisnis yang diterapkan oleh para pengusaha di Mola, dan
Mantigola; Mola cenderung pada perhitungan ekonomi untuk keberhasilan usaha dan
mendukung akumulasi kapital, sementara Mantigola menitik beratkan pada
ketergantungan terhadap hubungan-hubungan social daparanakan (kin
relationship) baik sebagai tenaga kerja, dan sebagai katup penyelamat usaha
menegaskan ada perbedaan rasionalitas dalam memandang usaha dan strateginya.
Merujuk pada teori rasionalitas Weberian yang telah diungkapkan pada bab
tinjauan pustaka sebelumnya. Bahwa menurut Weber, rasionalitas terbadi atas dua
golongan besar. Antara lain rasionalitas instrumental (mean-ends rationality)
yang melandasi segala bentuk tindakan-tindakan ekonomi kapitalistik, dan
rasionalitas berorientasi nilai (substantive rationality) yang melandasi
tindakan-tindakan ekonomi pra kapitalistik. Berpijak pada teori tersebut, maka
rasionalitas instrumental (mean-ends rationality) yang melandasi segala
bentuk strategi bisnis untuk usaha maksimisasi profit yang cenderung ekspansif,
berani mengambil resiko, agresif, terbuka dengan beragam inovasi dan bentuk
kemitraan dengan eksportir, dalam bentuk rasionalitas praktis pada actor
kapitalistik Bajo di Mola. Rasional praktis sendiri mewajibkan hitung-hitungan
ekonomi, dan akumulasi kapital untuk mobilitas sosial vertikal melalui prestasi
usaha (achievement). Namun, bukan berarti aktor kapitalis di Mola
melupakan segala bentuk rasionalitas substantif. Rasionalitas ini juga
cenderung masih “bercokol” pada ranah pemaknaan para aktor kapitalis tersebut.
Di sinilah titik konflik rasionalitas terjadi, ini terkait erat dengan pilihan
setiap aktor dalam menggunakan tenaga nelayan. Apakah menggunakan nelayan
terikat yakni orang-orang darat yang menawarkan kemudahan dan keuntungan,
ataukah menggunakan nelayan Bajo yang sifatnya terikat, yang malah memberikan
kesulitan bagi pengusaha.
Namun,
kewajiban-kewajiban sosial yang melekat pada orang-orang kaya Bajo, menuntut
terjadinya ikatan kerjasama dengan nelayan-nelayan kecil Bajo, meskipun dalam
kerangka rasionalitas ekonomi sang aktor kapitalis Bajo Mola mengatakan
tindakan ini cenderung tidak menguntungkan. Ini juga membuktikan bahwa terjadi
“pertarungan” antara rasionalitas ekonomi sang aktor yang merujuk pada
akumulasi surplus secara individu, dengan rasionalitas moral sosial, yakni
menjaga solidaritas diantara orang-orang Sama. Merujuk Weber (Johnson,
1998), konflik rasionalitas ini terjadi karena tuntutan efisiensi yang terus
meningkat, dan harus dibayar tinggi secara psikologis oleh sang aktor. Apakah
harus mengorbankan spontanistasnya, hubungan personalnya, atau kah harus
mengorbankan keuntungan ekonomi yang berlimpah?.
Fakta
ini sebenarnya sesuai dengan temuan Schrauwers dalam Li (2002) mengenai
sifat ekonomi moral masyarakat To Pamona yang hidup di daerah pinggiran dataran
tinggi Sulawesi Tengah. Kalangan Patron memberikan jaminan kebutuhan hidup
kepada petani kecil, ini dilakukan juga sebagai suatu bentuk kewajiban patron
sebagai “orang yang bernasib beruntung” di komunitasnya. Strategi ekonomi moral
ini dianggap sebagai upaya-upaya dalam meredakan ketegangan antar kelas; cara
untuk mendapatkan jaminan subsistensi tersebut membatasi sikap berontak.
Sementara
bagi pengusaha Mantigola lebih condong kepada rasionalitas substantive
(berorientasi nilai) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kolektifitas
“egalitarianisme” yang menitikberatkan pada ketergantungan terhadap hubungan
daparanakan baik sebagai pemberi modal maupun sebagai tenaga kerja meskipun
sifatnya cenderung mengikat dan merugikan dari sisi ekonomi. Sehingga dengan
dasar rasionalitas tersebut, strategi bisnis sebagai dasar maksimisasi profit
yang dikembangkan cenderung lebih berhati-hati, menghindari bentuk-bentuk
kemitraan dengan eksportir, karena takut akan segala bentuk resiko, terikat dengan
pemilik modal, dan cenderung defensive atau bertahan.
Untuk
pola-pola ekspansi bisnis, para aktor kapitalis di Mola cenderung
dilatarbelakangi oleh rasional instrumental dengan menitik beratkan pada
rasionalitas praktis. Rasionalitas ini kemudian memacu sang aktor untuk semakin
giat berekspansi. Meskipun ekspansi yang dilakukan cenderung untuk memperkuat
usaha penangkapan, melalui strategi nafkah diversifikasi usaha baik di sector
pelayaran, khususnya jasa angkutan laut, perbengkelan kapal, maupun usaha-usaha
non perikanan seperti usaha warung kelontongan.
Sebaliknya
di Mantigola, akibat semakin menguatnya rasionalitas substantif, hingga
munculnya gejala rasionalitas transedental, yang diidentikkan dengan munculnya
gejala “keputusasaan”, dan pemasrahan akan nasib hidup kepada Yang Maha Kuasa.
Selain karena kuatnya nilai-nilai kolektifitas antara sesama orang Bajo, yang
telah dibahas sebelumnya pada bab lima dalam gambaran umum konteks kesejarahan
orang-orang Bajo Mantigola, bahwa penguatan nilai-nilai kolektifitas tersebut
merupakan hasil adaptasi dari orang-orang mantigola terhadap kondisi sosial
ketika menghadapi orang-orang Kaledupa, juga karena beragam bentuk
tekanan-tekanan terhadap ruang-ruang nafkah, yakni laut sebagai sumber nafkah
orang Bajo Mantigola. Maka 50 | Wiyanti, Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme
Lokal Suku Bajo
bentuk akumulasi kapital diarahkan bukan untuk
berekspansi seperti orang-orang Mantigola, namun segala bentuk transfer surplus
atau keuntungan diarahkan mempertahankan basis usaha agar bisa bertahan diarus
persaingan yang harus dihadapi manakali harus menghadapi tekanan dari taman
nasional, dan serbuan dari eksportir yang langsung bertransaksi dengan nelayan
produsen di Mantigola.
Kemudian,
berdasarkan pola maksimisasi profit melalui akusisi kapital, para aktor
kapitalis Mola cenderung melakukan bentuk-bentuk akusisi kapital, ini dilakukan
sebagai implementasi dari bentuk-bentuk rasionalitas praktis ekonomi.
Bentuk-bentuk pencaplokan dinyatakan dalam bentuk pencaplokan hasil-hasil laut
dengan memperoleh sebanyak-banyaknya hasil tangkapan dari nelayan, dan memiliki
jumlah nelayan terikat yang relatif banyak. Pola akusisi juga cenderung
dilakukan oleh aktor kapitalis di Mola, karena unit usaha memang bukan sebagai
pola usaha bersama seperti beberapa kejadian pengelolaan usaha di Mantigola,
akan tetapi lebih condong pada kepemilikan individu dan perusahaan. Kepuasan
yang dirasakan oleh para aktor kapitalis jika keuntungan diperoleh secara
individual. Akusisi akan dilakukan oleh lawan bisnis yang juga orang Bajo Mola,
jika Ia dan lawan bisnisnya tidak terkait dengan unsur “daparanakan”nya.
Karena rasionalitas nilai yang terkait dengan daparanakan, membatasi
“keserakahan” para aktor kapitalis terhadap orang lain yang juga
daparanakannya. Mereka mengibaratkannya dengan ungkapan “menghancurkan
daparanakan, berarti menghancurkan diri sendiri”.
Sementara
bagi aktor-aktor di Mantigola, maksimisasi profit melalui akusisi cenderung
jarang dilakukan, karena beberapa unit usaha, misalnya untuk usaha penangkapan
ikan dengan menggunakan rompong, unit usaha merupakan skala usaha kolektif
dengan berbasiskan hubungan daparanakan dan darumah. Model kerjasama kolektif
ini juga sekali lagi sebagai bentuk adaptasi atas bentuk tekanan-tekanan pada
ruang-ruang nafkah orang-orang Bajo Mantigola. Maka akusisi capital tidak
difikirkan oleh orang-orang Mantigola, sebaliknya mereka menggunakan etika
moralitas kolektifisme untuk bertahan, dan menghalangi segala bentuk pola
akusisi capital.
Karena
kecenderungan orang-orang Mola dalam mengimplementasikan rasionalitas
instrumental ekonomi, maka bentuk ekspansi dalam bentuk jejaring bisnis
cenderung lebih terbuka. Rasionalitas instrumental ekonomi praktis mengarahkan
pada nilai-nilai individualisme dan komersialisme sehingga peleburan
batas-batas antara sama dan bagai mulai terjadi. Peleburan
batas-batas nilai sama dan bagai tersebut akan dipaparkan secara
rinci telah dibahas pada bagian pemaknaan orang Bajo terhadap sesamanya.
Orang-orang
Mantigola berlaku sebaliknya, bentuk ekspansi usaha lebih tertutup, karena
orang-orang Mantigola “lebih nyaman” jika berhubungan bisnis dengan
daparanakannya dibandingkan dengan orang lain. Tindakan afeksi ini muncul
karena rasionalitas substansi nilai-nilai sama dan bagai masih
tegas berlaku di Mantigola. Beberapa pengalaman pahit orang-orang Mantigola
saat bermitra dengan orang-orang darat Kaledupa memperkuat “ketakutan” atas
kegagalan usaha ketika bermitra di luar daparanakannya, sehingga dengan alasan
ini lah tipe jaringan bisnis bersifat tertutup.
Hubungan
sosial produksi dalam kegiatan ekonomi yang dibentuk oleh para aktor kapitalis
lokal di Mola dilandasi oleh rasionalitas instrumental. Dengan kepemilikan
profit properti secara individual. Para aktor kapitalis mulai mempekerjakan
tenaga kerja upahan, terbagi atas nelayan terikat, dan tenaga kerja non
produksi, seperti tenaga kerja yang bekerja dalam hal pengolahan hasil
produksi. Meskipun beberapa aktor mengungkapkan tidak lagi mempermasalahkan
apakah tenaga kerja harus menggunakan orang Bajo, dan sistem perekrutan tidak
ketat, namun pada kenyataannya semua tenaga kerja yang dipakai para aktor,
khususnya dalam kegiatan pengolahan hasil tangkapan para aktor sepenuhnya
menggunakan tenaga dari orang-orang Bajo. Para actor beralasan tidak ada orang
darat yang menawarkan tenaganya kepada para pengusaha Bajo.
Sementara
hubungan sosial produksi bagi para aktor di Mantigola dilandasi oleh
rasionalitas substantif, ada beberapa kecenderungan kepemilikan properti tidak
hanya dalam bentuk pribadi atau individual tetapi dalam bentuk keluarga,
penggunaan tenaga kerja lebih pada penggunaan keluarga inti. Tidak seperti di
Mola, di Mantigola perekrutan tenaga kerja bersifat ketat dalam artian harus
menggunakan orang-orang Bajo. Derajat hubungan eksploitasi dari hubungan
produksi antara sang patron dan client dipengaruhi oleh
nilai-nilai sosial daparanakan, darumah. Kecenderungan aktor
kapitalis menikmati nilai tukar (exchange values) sesungguhnya tidak
begitu besar, dibandingkan dengan nilai pakai yang dinikmati oleh nelayan
produsen.
Gambaran
perbedaan rasionalitas antara pengumpul besar di Mola dengan pengumpul kecil di
Mantigola yang pada akhirnya memberikan warna yang berbeda terhadap gambaran
dari kapitalisme lokal, dijabarkan pada matriks berikut ini : Sodality:
Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012 | 51
Matriks 2. Perbandingan Rasionalitas berdasarkan
Parameter-parameter Kapitalisme Lokal yang diamati pada Aktor Kapitalis Bajo di
Mola dan Mantigola
Dari
pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa orang Bajo yang menjadi
pengumpul besar dan berwujud sebagai aktor kapitalis lokal di Mola mendasarkan
segala bentuk tindakannya, khususnya tindakan berbisnisnya dengan didominasi
oleh rasionalitas instrumental yang berisi etika moralitas
individualisme-materialisme. Namun, bukan berarti mereka kemudian hanya
memikirkan “keegoisan” diri sendiri dengan hanya melakukan segala bentuk kegiatan
yang akan menghasilkan keuntungan materi semata. Masih eksisnya rasionalitas
substantif, yang berisi etika moralitas kolektivisme sesama orang-orang Bajo “Sama”
membentuk suatu konflik rasionalitas, yang pada akhirnya konflik rasionalitas
tersebut menghalangi pembentukan aktor dengan pemikiran kapitalisme “penuh”.
Kemudian,
untuk fenomena sosial yang terjadi pada pengumpul kecil di Mantigola yang
cenderung mandek ekonominya, mendasarkan segala bentuk kegiatan bisnisnya,
beserta berbagai bentuk pertimbangan bisnisnya pada rasionalitas substantive
yang berisi etika moralitas kolektivisme. Karena tindakan yang cenderung
hati-hati dan menghindari resiko usaha, maka etika kolektivisme dijadikan alat
untuk menyelamatkan diri secara beramai-ramai, meskipun pola tersebut mengikat,
dan cenderung merugikan, namun hal tersebut rasional bagi mereka karena mampu
menyelamatkan mereka dari jurang kehancuran.
Karakteristik
Sistem Kapitalis Lokal
Pada
pembahasan sebelumnya, khususnya pada bagian pembahasan sejarah munculnya aktor
kapitalis lokal di Mola dan Mantigola, penggunaan teori Weber dibuktikan lebih
tepat digunakan untuk menganalisa “akar” munculnya kapitalisme di suku Bajo.
Kemudian, juga melalui Weber dapat dilihat bagaimana kapitalisme di Suku Bajo
tumbuh dan berkembang melalui etika nilai moralitas yang berasal dari agama dan
orientasi nilai budaya baik pada masyarakat Bajo Mola dan Bajo Mantigola, pada
akhirnya menyebabkan tumbuhnya rasionalitas tertentu pada aktor Bajo Mola dan
Bajo Mantigola. Analisa berikut ini akan membahas analisa kapitalisme lokal
secara makro dengan menganalisa sistem ekonomi dengan unsur-unsur ekonomi
kapitalisme seperti profit maksimisasi, pola ekspansi usaha,
individualisme-profit property, dan hubungan produksi dan dihubungkan dengan
orientasi nilai yang telah dibahas sebelumnya agar “warna lokal” bisa dipahami
lebih mendalam pada sistem ekonomi orang-orang Bajo Mola dan Mantigola. Pada
fase perkembangan kapitalisme, khususnya fase setelah otonomi daerah kabupaten
Wakatobi terbentuk, maka unsur teoritisasi Marx nampaknya bisa menjelaskan
sistem ekonomi kapitalisme lokal, meskipun beberapa unsur teori Weberian juga
masih bisa masuk untuk mewarnai analisa secara makro terhadap sistem ekonomi
kapitalis lokal ala suku Bajo.
Yang
terjadi pada aktor kapitalis di Mola, dalam memperoleh profit, tidaklah
seserakah apa yang telah diungkapkan oleh Marx sebelumnya. Para aktor baik di
Mola maupun di Mantigola mempertimbangkan serangkaian pertimbangan kritis yang
menyatakan bahwa nilai komoditas tidak hanya ditentukan nilai ekonomis yang
masuk ke dalam penciptaannya, melainkan juga mempertimbangkan nilai sosial.
Sistem produksi kapitalisme lokal ala Bajo ini menunjukan bahwa para pekerja
baik itu nelayan Bajo yang berstatus terikat, bahkan tenaga upahan dalam proses
pengolahan hasil perikanan memproduksi nilai lebih, tetapi nilai lebih itu
tidak seluruhnya dinikmati oleh sang aktor kapitalis, melainkan juga keuntungan
dinikmati oleh buruh, bahkan juga dinikmati oleh pengusaha lainnya yang terkait
Daparanakan. Hal ini terlebih dilakukan juga oleh aktor kapitalis di
Mantigola. Hasil laut misalnya juga dinikmati oleh orang-orang sekampung.
Pengusaha-pengusaha di Mantigola nyaris menyisikan setengah dari keuntungannya
untuk membantu sesamanya di Mantigola, khususnya yang terkait erat dengan
hubungan daparanakannya.
Model
pengelolaan profit dari usaha yang terjadi di Bajo memang dipengaruhi oleh
nilai-nilai sosial yang dianut dan dipertahankan mati-matian oleh orang Bajo
dalam menjaga keluhuran nilai-nilai budayanya. Pengelolaan profit yang tidak
saja dinikmati oleh sang aktor saja melainkan juga sedikit banyaknya juga
dinikmati oleh orang-orang Bajo lainnya, dalam bentuk bantuan social, dan
perlibatan orang-orang Bajo di dalam kegiatan usahanya. Model pengelolaan
keuntungan ini sangat dipengaruhi oleh pemaknaan para aktor kepada sesamanya,
seperti yang telah dijabarkan sebelumnya 52 | Wiyanti, Nur Isiyana. et.
al. Kapitalisme Lokal Suku Bajo
dalam bagian karakteristik aktor kapitalis yang
menyangkut orientasi nilai budaya yang melekat (embedeed) terhadap
nilai-nilai sama dan bagai. Teman juga diartikan oleh para aktor
tidak hanya merupakan asset bisnis saja melainkan sebagai jaringan sentimental.
Seungguhnya pemaknaan terhadap laut juga mempengaruhi pengelolaan profit ini,
meskipun diakui bahwa nilai-nilai ini di Bajo Mola sudah mulai tergerus, namun
makna “laut” sebagai sumberdaya yang dihadapi dan basis nafkah satu-satunya
bagi orang Bajo menciptakan kesetiakawanan diantara sesama orang Bajo, dimana
pun mereka berada.
Profit
maksimisasi juga tidak akan sangat besar jumlahnya dinikmati oleh aktor
kapitalis. Selain yang telah disebutkan di atas, fakta lain menunjukkan bahwa
para aktor kapitalis di Mola tetap menggunakan nelayan produsen Bajo yang
sifatnya mengikat. Padahal, dari beberapa pengakuan pengusaha di Mola,
menggunakan nelayan terikat malah cenderung merugikan para pengusaha. Namun,
itu tetap dilakukannya karena kewajiban sosial terhadap orang-orang Bajo yang
tak berpunya, yakni nelayan-nelayan kecil. Biaya yang dikeluarkan oleh
pengusaha bisa mencapai dua kali lipat disbanding dengan menggunakan nelayan
darat yang mandiri. Meskipun, bisa juga kita mencurigai bahwa yang diungkapkan
oleh aktor, seperti kata Marx bahwa pembenaran yang dilakukan oleh kapitalis
sesungguhnya semata-mata untuk membela dirinya atas eksploitasi yang
dilakukannya, karena penggunaan nelayan-nelayan yang sifatnya terikat dari suku
Bajo sendiri, memang sangat diperlukan oleh actor untuk menjamin ketersediaan
komoditas yang akan diperjualbelikan di pasar internasional.
Pada
bagian pembahasan mengenai karakteristik aktor kapitalis lokal khususnya yang
membahas mengenai rasionalitas, menunjukkan bahwa nilai-nilai ekonomi
materialisme memang sudah menggerus ranah pemikiran ekonomi, dalam hal
perhitungan untung dan rugi. Namun, nilai-nilai sosial kolektivisme tetap
“bercokol” pada ranah pemaknaan, sehingga konflik rasionalitas terjadi. Konflik
rasionalitas ini membuktikan bahwa nilai-nilai sosial kolektifisme yang menjadi
landasan hidup orang-orang Bajo, mampu mencegah terjadinya “keserakahan” yang
berlebihan dari para pengusaha di Mola, tidak seperti yang diteorikan oleh Marx
mengenai kaum borjuis yang selalu haus akan keuntungan.
Terkait
dengan ekspansi ekonomi, menurut Marx dalam Magnis-Suseno, 2005 ciri
khas dari ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu
hukum : hukum tawar-menawar di pasar. Sehingga kapitalisme adalah ekonomi yang
bebas: bebas dari berbagai pembatasan oleh raja dan penguasa lain (orang boleh
membeli dan menjual barang di pasar manapun), bebas dari pembatasan-pembatasan
produksi (orang bebas mengerjakan dan memproduksi apapun yang dikehendakinya),
bebas dari pembatasan tenaga kerja (orang boleh mencari pekerjaan dimana pun,
ia tidak terikat pada desa atau tempat kerjanya). Yang menentukan semata-mata
keuntungan yang lebih besar.
Sistem
ekonomi kapitalis dibedakan oleh kepentingan utama dari produksi kapital.
Produksi capital dalam bentuk uang kemudian diinvestasikan di dalam komoditas
(artikulasi cara produksi dan kekuatan tenaga kerja) yang memiliki nilai lebih.
Keuntunganan yang diperoleh aktor kemudian diinvestasikan kembali, seperti apa
yang diungkapkan Marx sebagai expanded reproduction of capital.
Weber
sebaliknya, bahwa dibalik kapitalisme bukan saja didorong oleh keinginan untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, melainkan juga karena etika moralitas
yang mendorong timbulnya rasionalitas tertentu dalam berusaha. Deterministik
ekonomi ala Marx menurut Weber belumlah cukup untuk menggambarkan sistem
ekonomi kapitalistik. Sebab jauh dari kepentingan ekonomi semata-mata, ada
suatu nilai-nilai yang secara filosofis mendorong dan mewarnai bentuk-bentuk
kapitalisme yang berkembang dalam suatu sistem social terntentu.
Jika
melihat fenomena para aktor kapitalis Bajo di Mola, apa yang diteorikan Marx
juga tidak sepenuhnya bisa menggambarkan sistem kapitalisme lokal di Mola.
Kenyataannya, jika dibandingkan dengan ekspansi usaha yang dilakukan oleh
orang-orang Mantigola. Para aktor kapitalis di Mola memang cenderung lebih
terbuka terhadap bentuk peluang usaha, sejauh itu bisa memberikan peluang
keuntungan akan mereka lakukan. Namun, tidak bisa semua peluang ekonomi yang
datang kemudian serta-merta mereka terima. Usaha utama yang akan mereka
kembangkan haruslah berbasis sumberdaya laut. Pemaknaan terhadap laut (worldview)
dan nilai-nilai sama dan bagai menjadi “filter” pemilihan sektor usaha yang
dikembangkan. Karena bagi orang-orang Bajo satu-satunya lahan nafkah yang
terlegitimasi untuk mereka adalah lautan, dan orang darat (bagai) berkuasa
di daratan. Maka jangan berharap orang Bajo akan menjual barang-barang bekas
pakai selundupan (RB) di pasar seperti orang Mandati, atau membuka lahan tambak
didaratan seperti orang-orang Bugis di Delta Mahakam.
Di
Mantigola lebih ekstrim lagi-karena transisi belum pada ekonomi
kapitalisme-ekspansi usaha jauh lebih tertutup. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya pada bagian sejarah perkembangan kapitalisme, dan pembahasan
orientasi nilai budaya, maka kecenderungan ekspansi yang tertutup karena hakikat
hidup orang-orang Bajo memandang kerja dan usaha sebagai sesuatu yang dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan penghindaran resiko usaha. Kemudian,
seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa tekanan struktural baik dari
taman nasional yang membatasi ruang gerak masyarakat Mantigola dalam mencari
nafkah, dan keterikatan dan ketergantungan yang tinggi kepada orang-orang Mola
membuat pola ekspansi kapital lebih terbatas dan tertutup. Makna hubungan
dengan sesama yang terkait dengan kekuasaan darat dan laut melalui nilai-nilai sama
dan bagai yang sangat tegas juga menyebabkan tidak pernah sedikit
pun mereka ingin berekspansi ke darat.
Kemudian,
Membicarakan ranah individualisme berarti membahas mengenai bagaimana modal
dikuasai sebagai basis dari keuntungan (profit property). Menurut Marx,
kepemilikan profit property sesungguhnya juga menunjukkan kepemilikan
kekuatan produksi (force of Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol.
6, No. 1 2012 | 53
production).Merujuk
pada Sitorus (1999) konsep kepemilikan kekuatan produksi dilihat pada aspek
alat produksi, unit produksi, dan tenaga kerja utama. Marx dalam Magnis-Suseno
(2005) melihat manusia sebagai mahluk yang berhubungan dengan lingkungan secara
bebas dan universal. Keterasingan berkaitan erat dengan sistem hal milik
pribadi dan pembagian kerja.
Sementara
menurut Boeke menunjukkan bahwa bentuk sistem ekonomi baik kapitalis maupun pra
kapitalis erat kaitannya dengan motivasi spiritual (nilai-nilai). Sehingga
dalam membahas mengenai ranah hak milik pribadi yang digunakan untuk berekonomi
oleh orang-orang Bajo berarti terkait dengan makna dari hakekat kerja dan
karya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya mengenai hakekat karya dan kerja
pada bagian orientasi nilai para aktor kapitalis lokal. Bagi para aktor
kapitalis di Mola, hak milik merupakan suatu kewajaran dalam hal berekonomi.
Karya dan kerja dimaknai sebagai ragam upaya bukan saja sebagai nafkah hidup,
namun sebagai cara untuk mendapatkan kedudukan, dan kehormatan di masyarakat.
Maka, kepemilikan kekuatan produksi baik dalam bentuk alat tangkap, penggunaan
tenaga kerja upahan, dan unit usaha dengan skala individu maupun berbadan hukum
(Commanditaire Vennootschap) merupakan suatu keharusan sebagai bentuk
pentingnya akumulasi dari produksi komoditi. Alat produksi utama para aktor
adalah modal uang yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional bagi
nelayan terikat, dan pengolahan hasil hingga sampai di tangan eksportir.
Perubahan
moda produksi yang dialami oleh para pengusaha di Mola yang memang telah
dimulai sejak tahun 1980-an. Namun, perubahan yang sangat menyolok terjadi
semenjak otonomi daerah kabupaten Wakatobi. fase otonomi daerah memberikan
“hentakan” perubahan bagi orang-orang Mola. Beberapa pihak mengungkapkan bahwa
fase otonomi daerah menjadi masa kemakmuran bagi orang-orang Bajo Mola, setelah
masa keemasan Mola dan Mantigola yang telah surut, khususnya saat penyu masih
legal untuk diperdagangkan. Fase otonomi daerah menyebabkan terbukanya
informasi pasar hasil-hasil laut di Wakatobi. Pada fase otonomi daerah inilah
orang-orang Bajo mengenal usaha tuna skala ekspor, beserta teknologi meloing.
Kemudian, pada fase otonomi daerah juga merupakan kali pertama orang-orang Bajo
mengenal usaha ikan kerapu hidup, beserta teknologi baru di dalam pengelolaan
ikan kerapu. Sebelum ikan kerapu hidup diperkenalkan dan diperdagangkan, ikan
kerapu hanya dijual dalam keadaan mati dan pengolahan lebih lanjut hanya dalam
bentuk ikan kerapu yang diasinkan. Setelah perdagangan ikan kerapu hidup
diperkenalkan, mulailah orang-orang Bajo berinovasi dengan menggabungkan metode
penangkapan dengan cara memancing, melalui teknik-teknik tertentu agar tidak
terjadi kematian ikan kerapu. Otonomi daerah menciptakan begitu dekatnya para
aktor kapitalis lokal Bajo di Mola dengan pasar global, yang mementingkan
standarisasi, dan mempercepat proses alami secepatnya, dengan eksploitasi
sumberdaya yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pasar. Menurut para aktor
kapitalis lokal di Mola, semenjak terbentuknya kabupaten Wakatobi, para bos-bos
di Surabaya, dan eksportir di Bali banyak yang langsung datang ke Mola, jadi
sistemnya “jemput Bola”. Tidak hanya eksportir dalam negeri, para eksportir
dari Jepang dan Korea juga langsung bertransaksi ke Mola.
Bagi
orang Bajo Mola, perebutan atau akusisi usaha wajar-wajar saja dilakukan, jika
itu tidak ada kaitannya dengan hubungan “daparanakannya”. Perebutan dan
“mematikan usaha” pihak-pihak tertentu akan dilakukan jika mengganggu
eksistensi usaha, sekali lagi jika sang kompetitor tidak ada hubungannya daparanakan
dengannya. Dapparanakan adalah kelembagaan penopang (supporting
institution) bagi keberhasilan usaha, khususnya usaha tuna di Mola. Menurut
Zacot (2008), dapparanakan adalah sebuah keluarga dalam arti “orang yang
tinggal dalam satu rumah”, lingkungan keluarga, kelompok orang-orang yang hidup
di bawah satu atap, apa pun tingkatan hubungan keluarga mereka, dapparanakan
juga menunjuk pada ruang geografis. Kekompakan daparanakan juga
dibuktikan dalam menghadapi saingan bisnis mereka. Persaingan antara usaha
orang-orang Bajo Mola yang paling menonjol adalah persaingan antara pengusaha
ikan kerapu hidup. Setelah ditelisik lebih dalam persaingan tersebut memang
terjadi di luar garis hubungan daparanakannya.
Namun,
bagi para aktor kapitalis di Mantigola, yang nampak bukannya individualisme,
melainkan kolektifisme usaha. Orang-orang Mantigola memang cenderung memaknai
usaha sebagai upaya untuk bertahan hidup. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, bahwa masyarakat Mantigola pada khususnya, mengalami
tekanan-tekanan struktural yang mulai menekan ruang-ruang nafkah. Laut yang
dimaknai oleh orang Bajo Mantigola sebagai ranah nafkah dan kekuasaan bagi
orang Bajo sepenuhnya, setelah terbentuknya taman nasional, dan otonomi
kabupaten Wakatobi, kekuasaan tersebut semakin memudar. Sistem zonasi taman
nasional yang dimaknai oleh orang-orang Bajo Mantigola sebagai ketidakpedulian
pemerintah terhadap keberlanjutan hidup orang-orang Bajo. Misalnya saja, dampak
zonasi taman nasional di Mantigola, usaha pengumpul ikan kerapu hidup berada di
jurang kehancuran. Ini dicirikan dengan penciutan skala usaha. Beberapa
pengumpul besar yang sudah “jatuh bangun” nampaknya harus berhenti sementara
terkait dengan kerugian yang mereka alami secara beruntun. Pada beberapa kasus,
hak milik pribadi para aktor kapitalis lokal di Mantigola kemudian tidak
menjadi atomisasi, melainkan melebur menjadi satu, karena sulitnya mereka
memiliki modal usaha.
Menurut
Marx dalam Magnis-Suseno (2005), hubungan-hubungan produksi adalah
hubungan kerjasama atau pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam
proses produksi. Untuk hubungan-hubungan produksi Marx juga memakai istilah lalu
lintas. Yang dimaksud bukan hubungan antara antara orang yang kebetulan bekerja
berdampingan, melainkan struktur pengorganisasian social produksi. Misalnya
pemilik modal dan pekerja. 54 | Wiyanti, Nur Isiyana. et. al. Kapitalisme
Lokal Suku Bajo
Hubungan sosial produksi erat hubungannya dengan
mekanisme surplus value transfer, antara pemilik modal dengan para pekerja.
Menurut Marx surplus value transfer diperoleh melalui mekanisme eksploitasi
para kapitalis terhadap buruh. Namun, pada kasus Mola, maupun Mantigola
eksploitasi terjadi namun keuntungan dinikmati namun juga dibagi sebagai bentuk
tanggung jawabnya sebagai orang Bajo (sama) terhadap sesamanya yang adalah
orang-orang Bajo. Beberapa pengusaha mengutarakan bahwa sedapat mungkin
meringankan nelayan.
Seperti
yang telah diutarakan sebelumnya, nilai-nilai moralitas masih “melekat” di
benak sang aktor, sehingga surplus transfer yang dinikmati tidak begitu besar.
Aktor tidak seegois yang diungkapkan Marx. Para aktor juga masih memikirkan
kondisi nelayan terikatnya, dan tenaga kerja dalam pengolahan hasil-hasil laut.
Upah nelayan terikat misalnya tidak ditentukan berdasarkan pertimbangan
ekonomis, melainkan secara sosial. Para aktor kapitalis di Mola maupun di Mantigola
tidak menjalankan sistem upah terikat untuk nelayan dengan sangat ketat. Bentuk
pinjaman modal yang sifatnya terikat oleh orang-orang Mola kepada orang-orang
Mantigola yang dipandang sebagai bentuk ketergantungan yang menghambat
perkembangan saudaranya di Mantigola dengan bunga rendah, dan pengembalian yang
tanpa waktu jatuh tempo. Jejaring patronase digunakan aktor di Mola maupun
Mantigola terhadap nelayan untuk menjamin kelangsungan perkembangan usahanya
dan kelangsungan hidup sang client di Mantigola. Meskipun disadarinya, dengan
menggunakan sistem terikat mereka akan jauh lebih “repot” karena harus
menyediakan dana operasional kepada nelayan buruh, maupun kelompok nelayan.
Semua
bentuk akumulasi surplus transfer ini, merupakan implementasi atas pemaknaan
para aktor kapitalis dalam memaknai saudara Bajonya. Nilai-nilai sama dan
bagai, meskipun memang secara faktual mulai mengalami pengaburan, namun
nilai-nilai kewajiban untuk menjaga inklusifitas kelompok Bajo dan kewajiban
orang berpunya untuk membantu kehidupan saudaranya yang jatuh pada batas
subsistensinya tetap dipegang oleh orang-orang Mola. Di Mantigola lebih ekstrim
lagi, surplus transfer dinikmati bersama, baik oleh daparanakannya,
maupun darumah sebagai tenaga kerja utama usaha. Malah yang terjadi
ketika panen tiba, dambarisan sebagai simbol unit sosial juga menikmati.
Nilai-nilai kapunuang, kutukan jika tidak memberi seperti yang diungkapkan
sebelumnya, sangat dijunjung tinggi. Tekanan pada ruang nafkah juga mempertegas
makna sama dan bagai, sehingga inklusifitas kelompok semakin
tinggi. Bajo Mantigola pun mengklaim bahwa inilah senjata terakhir mereka,
yakni mengandalkan inklusifitasnya untuk bertahan dari tekanan-tekanan
kehidupan yang mendera ruang-ruang nafkah mereka.
Ilustrasi
singkat perbandingan kapitalisme lokal suku Bajo Mola dan Mantigola dilukiskan
pada gambar berikut ini :
Dari
ilustrasi di atas,disimpulkan bahwa kapitalisme lokal yang terjadi di
masyarakat Bajo Mola merupakan gambaran kapitalisme hibridisasi, dimana tidak
sepenuhnya orang-orang Mola menjadi kapitalisme penuh, yang menurut Marx akan
menjadi “penghisap darah” kaum proletar. Terlepas dari kenyataan di satu sisi
bahwa nilai-nilai tersebut dipertahankan agar profit tetap bisa mengalir kepada
para aktor kapitalis, namun inilah gambaran mengenai kapitalisme khas lokal
Bajo. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012 | 55
Sementara pada gambar 2 mengilustrasikan bagaimana
wajah Bajo Mantigola yang cenderung bertahan pada pola-pola ekonomi pra
kapitalisme, namun bukan berarti juga tidak memperdulikan ekonomi pasar. Selain
karena ruang-ruang nafkah dengan basis utama nafkah yakni laut dan karang
semakin sempit untuk dikelola. Namun, jauh dari hal tersebut, ini lebih
disebabkan oleh kegagalan dalam proses akulturasi budaya yang tidak membawa
pada perkembangan ekonomi, yakni akulturasi antara orang-orang Bajo Mantigola
dengan orang Buton Kaledupa. Proses akulturasi ini seperti yang dibahas
sebelumnya terkait erat dengan konteks sejarah mengenai hubungan yang kurang
harmonis antara orang-orang Bajo Mantigola dengan orang-orang Kaledupa.
Penutup
Pada
akhirnya kita menyimpulkan bahwa gambaran mengenai perbedaan orientasi
perkembangan kapitalisme lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam
perkembangan kapitalismenya, dan Mantigola cenderung lebih lambat
menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo melalui beragam tahap yang berbeda dalam
menuju bentuk ekonomi kapitalisme yang digambarkan melalui enam dimensi
kapitalisme lokal yang telah digambarkan secara rinci dalam tulisan ini antara
lain : (1) profit maksimisasi ; (2) pola ekspansi ekonomi ; (3)
individualisme-profit propertu ; (4) Hubungan sosial produksi. Pemaknaan
menunjukkan cirri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi baik di Mola
maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan dalam berekonomi
ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap kapitalisme yang
terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk gambaran
rasionalitasnya. Ciri lokal, dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere of
life) juga tidak bisa ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk
kapitalisme lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga
membuktikan bahwa teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi
pribumi tidak sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan kapitalisasi yang
secara teori semestinya mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern
ternyata memberikan suatu gambaran perkembangan yang berbeda, yakni di satu
sisi progresif, dan di satu sisi mengalami kemandekan ekonomi pribumi.
Kapitalisme
lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika yang dianut oleh
masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang dianut oleh
para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme. Maka
dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan
sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara bentuk eksploitasi
yang dilakukan oleh orang-orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat
serakah seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya
nilai-nilai tertentu yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo.
Berdasarkan
hasil penelitian ini, maka model ekonomi lokal khas suku Bajo dapat digunakan
sebagai model pemberdayaan masyarakat suku Bajo. Warna lokal yang khas
sesungguhnya menjadi modal dalam keberlanjutan usaha orang-orang Bajo. Misalnya
mekanisme profit maksimisasi, ekspansi usaha, dan akumulasi kapital yang sangat
diwarnai dengan nilai-nilai khas lokal sehingga membentuk transfer keuntungan
tidak dinikmati oleh satu pihak selayaknya kapitalis penuh, namun keuntungan
dipertahankan untuk membantu sesama orang-orang Bajo, khususnya yang terkait
dengan nilai-nilai daparanakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Dewanto,
Herpin. 2010. Wajah Baru Suku Bajo Wakatobi (Harian Kompas 29 Juni 2010)
Dharmawan,
A.H. 2001. Farm Houshold Livelihood Strategies and Socio-economic Changes in
Rural Indonesia. Wissenschaftverlag Vauk. Kiel. 56 | Wiyanti, Nur
Isiyana. et. al. Kapitalisme Lokal Suku Bajo
______________. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah
Pedesaan : Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mahzab barat dan
Mahzab Bogor. Jurnal Sodality Vol. 01 No. 02, agustus 2007. Hal 169-192.
Geertz,
Clifford. 1983. Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia
(Alihbahasa S. Supomo). Jakarta : Bharata karya Aksara.
Hefner,
Robert W. Geger Tengger, Perubahan Sosial, dan Perkelahian Politik (Pengantar
Martinvan Bruinssen). Yogyakarta : LKiS.
Kalberg,
Stephen. 1980. Max Weber’s Type of Rationality : Cornerstones for the Anaysis
of Rationalization Processes in History. American Journal of Sociology (AJS)
Volume 85 No. 5.
Li,
Tania Murray. 2002. Proses Transformasi daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta.
Yayasan Obor Indonesia.
Magnis-Suseno,
Frans. 2005. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta : Gramedia.
Nurjannah,
Siti. 2003. Perubahan Pola Produksi dan Gejala Pembentukan Kelas Pedagang dalam
Masyarakat Pengrajin (Studi Kasus pengembangan Industri Gerabah di desa
Banyumulek, Lombok Barat, NTB). Tesis Master SPS-IPB. Bogor.
Pallesen,
A.K. 1985. Culture Contact and Convergence. Linguistic Society of The
Philippines, Manila.
Peribadi.
2000. Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Sistem Kekerabatan Masyarakat bajo,
Sebuah Studi Komunitas di Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari, Propinsi
Sulawesi Tenggara. Tesis. PPS IPB, Bogor
Scott,
James C. 1976. Moral Ekonomi Petani Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara. Jakarta : LP3ES.
Stacey,
Natasha. 1999. Boats to Burn : Bajo Fishing Activity in The Australian Fishing
Zone. Northern Territory University Australia.
Suyuti,
Nasruddin, dkk. 1995. Pengkajian Sosial Budaya dan Lingkungan pada Masyarakat
Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka. Laporan penelitian :
Kerjasama FISIP Universitas Haluoleo dengan Kanwil Depsos Propinsi Sulawesi
Tenggara.
___________________.
2004. Bajo dan Bukan Bajo, Studi tentang Perubahan Makna Sama dan Bagai pada
Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua Kabupaten Kolaka Utara.
Disertasi PPS UNAIR, Surabaya.
Sztompka,
Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada.
Weber,
Marx. 1946. From Marx Weber : Essays in Sociology. Oxford University.
Zacot, Francois. 2002. Orang Bajo Suku
Pengembara Laut Pengalaman Seorang Antropolog. Maisonnevue & Larose, Paris.
Penerjemah. Jakarta : Fida Muljono-Larue & Ida Budi Pranoto. Terjemahan
dari : Peuple nomade de la mer: Les Badjos d’Indone’sie.